Rugikan Petani Sawit, APPKSI Minta Pungutan Ekspor CPO Dihapus

07 Juli 2022 14:15

GenPI.co - Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) Arief Poyuono meminta pemerintah menghapus pungutan ekspor CPO yang mencapai 55 persen dari yang seharusnya.

Menurut dia, kebijakan itu justru membebani petani sawit.

Arief mengatakan tata kelola CPO dan turunannya telah menyebabkan nasib para petani plasma sawit yang jumlahnya puluhan juta dan stakeholder industri sawit makin tidak jelas.

BACA JUGA:  Anggota DPR Pertanyakan Dana Sawit di BPDPKS

Oleh karena itu, dia meminta DMO & DPO harus dicabut karena mempersulit ekspor CPO, yang mana akhirnya menyebabkan over stock di tangki-tangki penimbunan.

“Indonesia mendominasi produksi lemak dan minyak nabati dunia. Minyak kelapa sawit negara ini menyumbang sekitar 60 persen dari produksi minyak global dan menghasilkan pendapatan negara sebesar USD20 miliar pada 2020,” ujar Arief Poyuono, Kamis (7/7).

BACA JUGA:  Indonesia Terbitkan Izin Ekspor Sawit, Harga CPO Ambruk

Arief mengatakan merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, produksi lokal minyak sawit mentah (CPO) telah berkurang tahun ke tahun dari 2020 hingga 2021 bahkan ketika permintaan global terus meningkat.

Arief menjelaskan kenaikan harga CPO saat ini disebabkan banyaknya hambatan yang dihadapi industri antara lain pandemi covid-19, kekurangan tenaga kerja, musim hujan, banjir.

BACA JUGA:  BPKP dan Kejagung Bentuk Tim Khusus untuk Audit Perusahaan Sawit

Menurut dia, dari tidak tersedianya pasokan pupuk hingga kekurangan minyak nabati di pasar dunia, telah mengakibatkan kekurangan besar-besaran dalam jumlah TBS dan CPO.

Sementara itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan kegagalan penyerbukan, OER menurun dan FFA meningkat.

"Itu semua merupakan tantangan bagi pekebun kecil dan produsen korporat,” bebernya.

Hal tersebut, kata dia, membuat para petani sawit perlu memanfaatkan harga CPO yang tinggi saat ini untuk mengumpulkan dana untuk sanitasi lokasi dan kegiatan penanaman kembali di masa depan.

Arief menyinggung kebijakan pemerintah yang memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah dan produk olahannya, yang mana mengejutkan komunitas global dan dengan cepat menimbulkan reaksi negatif di seluruh dunia.

Menurut dia, larangan ekspor Indonesia adalah untuk mengurangi kenaikan harga pangan lokal dan untuk memadamkan kerusuhan lokal.

Namun, strategi jangka pendek bisa membawa lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam skala yang lebih besar.

Selain itu, dalam jangka panjang, produsen Indonesia tidak akan mampu lagi menjalankan bisnis perkebunan secara berkelanjutan.

Zero-sum game akan memungkinkan produsen Malaysia mengambil alih kuota yang sebelumnya diisi oleh produsen Indonesia, sehingga bisa menggeser Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia.

“KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung harus mengintensifkan penyelidikan jika ada pihak yang berkolusi untuk menipu pemerintah dengan menyedot CPO untuk penjualan tidak sah, yang selanjutnya dapat menyebabkan kekurangan minyak goreng lokal di Indonesia," tegasnya.

APPKSI berharap pemerintah mencabut pemberlakuan kembali domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang diatur oleh Kementerian Perdagangan.

Hal itu menyusul dibukanya kembali ekspor minyak goreng dan Crude Palm Oil (CPO). Pasalnya, kata Arief, kebijakan itu membuat kesulitan ekspor CPO karena tangki CPO penuh menumpuk.

Lebih lanjut, Arief menambahkan APPKSI juga mendesak pemerintah untuk menurunkan pungutan ekspor CPO yang sangat tinggi.

Sebab, hal itu membuat harga TBS petani makin hancur karena beban pungutan ekspor ternyata dibebankan pada harga beli TBS.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co