Indonesia Belajar Rekahkan Senyum Anak Pelosok di Timur Indonesia

24 September 2022 23:59

GenPI.co - Gerakan Indonesia Mengajar melaksanakan "Konferensi Pendidikan Di Timur Indonesia" pada 24-25 September 2024 di Gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Jakarta.

Konferensi ini menghadirkan para pengajar yang selama ini terlibat dalam mendidik anak usia sekolah mulai dari NTT, Maluku hingga Papua.

Salah satu penggerak pendidikan dari Kabupaten Rote Ndao Sevrin menyatakan pengalaman membangun gerakan 1.000 buku untuk salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut.

BACA JUGA:  Keren! Mahasiswa UGM Ciptakan CLEO, Permainan Kartu untuk Belajar Kimia

Dia menerangkan bahwa gerakan 1.000 buku ini mulai dari titik nol hingga terus berkembang dan mendapat dukungan masyarakat luas.

Dalam kisahnya, kelompok penggerak yang mereka bangun memulai membangun gerakan 1.000 buku ini melalui pembangunan taman bacaan di beberapa tempat di Kabupaten Rote Ndao.

BACA JUGA:  Belajar Makna Kehidupan Lewat Pertunjukan Sudamala: Dari Epilog Calonarang

Gerakan ini berkembang hingga dapat membangun lebih dari 30 taman baca.

"Kami mulai pada tahun 2012, kita mulai dengan gerakan yang namanya gerakan 1.000 buku untuk Rote Ndao," ujar dia dalam rilis yang diterima GenPI.co, Sabtu (24/9/2022).

BACA JUGA:  10 Universitas Terbaik di Indonesia, Brawijaya Kalahkan ITB

Sevrin menambahkan perkembangan gerakan 1.000 buku untuk Kabupaten Rote Ndao tersebut.

Dalam perjalanannya, beberapa anggota yang terlibat melakukan inisiatif untuk mengkampanyekan gerakan ini melalui media sosial FB sehingga mendapat dukungan dari masyarakat.

Menurut Sevrin, banyak pihak yang menyumbang buku-buku yang masih layak untuk dibaca.

Dengan demikian, anak-anak semakin tertarik untuk mendatangi taman bacaan yang telah dibangun.

"Kami mulai dengan grup di FB, gerakan 1.000 buku untuk Rote Ndao, kemudian kita juga dorong yang punya buku bekas bisa donasikan buku bekasnya, akhirnya mereka mendonasikan buku bekasnya," jelasnya.

Dia juga mengungkapkan awalnya berpikir 1.000 buku itu selesai disitu saja, tetapi ternyata puji Tuhan banyak yang berbagi.

"Awalnya, kami hanya bentuk satu dua taman baca, akhirnya terbentuk menjadi 32 taman baca dan seterusnya," kata Sevrin.

Sevrin memaparkan, gerakan ini terus berlanjut walaupun tantangan selalu ada.

Berdasarkan komitmen para penggerak pendidikan di sana, taman baca akan dibangun setiap kampung sehingga memudahkan setiap anak-anak di desa untuk membaca.

"Mimpi ini adalah mimpi yang panjang karena butuh bukan hanya gerakan, tetapi kita butuh orang yang punya napas panjang, istilahnya maraton. Jadi, kita bergerak, kita berkolaborasi dengan taman baca masyarakat yang kemudian sudah dibentuk tahun 2020 sampai sekarang," imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, salah satu penggerak pendidikan dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Maria Regina Jaga, menceritakan  pembangunan pendidikan di TTS, masih jauh dari kata baik.

Banyak anak-anak yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena berbagai macam alasan termasuk karena faktor ekonomi.

Wanita yang akrab disapa Inja ini menerangkan, potret pendidikan di TTS hingga usia Indonsia merdeka 77 tahun, masih sangat tertinggal dengan daerah lain, terutama Indonesia bagian Barat.

Banyak tantangan mulai dari listrik, jaringan internet hingga kondisi jalan tanah yang menyulitkan akses untuk masuk-masuk ke kampung-kampung dan sekolah-sekolah.

"Anak-anak di TTS, ya seperti juga anak -anak di Sabu Rai Jua, di kabupaten wah bagus, di kecamatan atau desa sampai dengan saat ini ketika 77 tahun Indonesia merdeka, kami punya jalan masih jalan tanah, kami masih punya daerah tidak punya listrik dan juga jaringan internet," tegas Inja.

Inja membeberkan perkembangan pendidikan di Indonesia terus berkembang, apalagi dengan tuntutan dunia globalisasi yang serba menggunakan teknologi.

Menurutnya, ini merupakan tantangan serius dalam merumuskan metode pembelajaran di TTS di tengah kondisi keterbatasan yang ada.

Inja yang merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris ini menjelaskan, dirinya menemukan salah satu metode untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak komunitas binaannya.

Dalam ceritanya, dia menggunakan salah satu permainan lokal yang menghubungkan antara pengetahuan bahasa Inggris dan kearifan lokal yang ada di TTS.

"Saya menggunakan satu permaianan tradisional yang masih saya pertahankan sampai sekarang, namanya permainan Siki Doka. Permainan Siki Doka itu mungkin ada juga di Indonesia Barat," jelasnya.

Dia kemudian menceritkan bahwa menggunakan metode ini, bukan tanpa tantangan.

Hal ini tidak pernah terlepas dari kemampuan dan daya tangkap anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan secara terus menerus.

Namun, dia menyebutkan, dirinya tidak pernah putus asa dengan tantangan yang ada.

Dengan metode permainan tradisional yang ada, secara perlahan anak-anak dapat mengusai bahasa Inggris, minimal untuk bahasa sehari-hari dan berkaitan dengan pengenalan lingkungan sekitar.

"Jadi apa salah memadupadankan unsur internasional dalam bahasa Inggris dengan budaya lokal kita yang membantu menjembatani jalannya globalisasi, berbahasaInggris, kemudian cara mempertahankan kultur dan tradisi melalui permainan tradsional dan juga mengajarkan mereka untuk berbahasa Indonesia dan mendapatkan pendidikan yang layak dan sama persis dengan orang yang mengambil pendidikan formal," jelasnya.

Selain itu, Yanto, salah satu penggerak pendidikan dari Pulau Leti Maluku menceritakan pengalaman dalam mendampingi anak-anak usia sekolah.

Mengawali cerita terkait pendampingan anak-anak usai sekolah di daerah tersebut, Yanto menekankan, Indonesia Timur pada umumnya masih sangat terbatas dengan berbagai macam fasilitas.

Namun, tantangan yang justru menjadi pendorong memulai gerakan mendampingi anak-anak yang membutuhkan pendampingan.

Oleh karena itu, Yanto dan rekan-rekan memulia gerakan pendampingan dengan fasilitas yang sangat terbatas.

"Kami tidak bisa bergerak kalau berpikir mulai dari keterbatasan. Itu yang membuat saya dan teman-teman bisa bergerak dalam satu Forum Kauledo Pendidikan. Saya dan teman -teman dikoordinasi oleh seorang polisi yang suka belajar," jelas Yanto.

Dari pengalaman yang ada, Yanto dan teman-teman tidak menunggu satu desain kurikulum yang bagus untuk memulai mendampingi anak-anak usia yang sekolah yang ada di daerahnya.

Menurutnya, dengan kemampuan yang mereka miliki saat ini, mereka bergerak untuk membagi ilmu pengetahuan kepada anak-anak dampingan.

"Kami tidak menyusun suatu kurikulum yang bagus dulu. Kami tidak harus punya buku, harus tunggu punya taman baca. Kami bergerak dengan apa yang ada pada kami yaitu semangat, yaitu apa, kami mau menolong generasi kami yaitu ilmu yang kami punya," tuturnya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co