Suster Gaib itu Menolongku, Bayiku Lahir di Bangsal Kamar Mayat

07 Februari 2020 20:00

GenPI.co - Usia kandunganku sudah memasuki bulan kesembilan. 

Fase di mana seorang ibu hamil tinggal menantikan si jabang bayi lahir di dunia. 

Namun, siang itu aku ingin keluar mencari angin segar setelah beberapa minggu istirahat di rumah. 

Suamiku sempat melarang untuk tidak beranjak ke mana-mana. Tetapi aku hanya ingin melihat ramainya kota di malam hari.

Dengan terpaksa, akhirnya suami mau menuruti kemauanku. 

Tempat tinggalku memang cukup jauh dari daerah perkotaan, aku dibonceng suami dengan sepeda motor lantas tancap gas ke kawasan alun-alun Kota Blitar. 

Kala itu kami sampai pada pukul 7 malam. 

Tepat saat keramaian kota sedang dipenuhi oleh muda-mudi maupun keluarga yang ingin melepas penat. Termasuk aku dan suami.

Sebelumnya kami mampir terlebih dahulu di sebuah toko perlengkapan bayi yang tak jauh dari alun-alun. 

Beberapa potong baju bayi ingin kubeli untuk persiapan, mengingat di tempat tinggal agak sulit menemukan toko perlengkapan yang komplit. 

Usai mampir beberapa saat ke toko itu, aku dan suami pun berbelok ke arah alun-alun. 

Tak muluk-muluk, aku hanya ingin menghirup udara malam dan melihat gemerlap lampu-lampu berpendar menyinari sudut kota.

Setelah itu, aku mengantar suami untuk menikmati sepiring nasi goreng di warung yang berada di bawah pohon beringin. 

Tak terasa jam sudah hampir pukul 10 malam. 

Kami pun bergegas untuk kembali ke rumah. 

Namun ketika hendak menuju parkiran motor, tiba-tiba aku merasakan perut besarku ini menegang dan kontraksi.

"Mas, mas rasane aku kok koyok arep nglaherne toh, beh wetengku matu-matu wes san" (mas, mas sepertinya kok aku akan melahirkan, duh perutku sudah menegang)," kataku sembari menahan sakit.

"Bah piye buk, engko lek ngenteni sampek bidan Ani kesuwen buk..piye ki?" ( Beh gimana bu, nanti kalo menunggu sampai ke rumah bidan Ani terlalu lama bu, gimana ini? )," balas suamiku dengan gugup dan khawatir.

Akhirnya suamiku pun langsung menyalakan mesin motornya dan kami menyisiri jalan untuk mencari rumah sakit terdekat. 

Hingga akhinya motor suamiku berhenti di depan gerbang masuk gedung tua RSUD Mardi Waluyo.

Rumah sakit itu tampak ramai sekali. 

Tanpa pikir panjang suamiku pun langsung bergegas masuk dan memapahku berjalan menuju suster yang berjaga saat itu. 

Suamiku menyapa dan meminta tolong kepada suster tersebut.

"Selamat malam, suster tolong istri saya mau melahirkan," ujar suami ke salah satu suster yang dibalas dengan anggukan.

Tanpa bicara sepatah katapun, suster itu hanya menjawab dengan senyuman sambil menganggukan kepalanya. 

Aku pun kemudian langsung dibawa ke ruang bersalin oleh 4 orang suster dan satu dokter yang menangani proses melahirkan.

Alhamdulillah, setelah hampir 30 menit, anak pertama kami lahir ke dunia. 

Tangisan bayi itu membuatku bersyukur atas nikmat Tuhan.

"Alhamdulillah anakku lahir," ucap syukur suami. 

Aku pun dipindahkan ke kamar inap pascabersalin. 

Suami mengucapkan terima kasih pada suster yang membantu memindahkanku

"Terima kasih suster telah menolong istri saya melahirkan dengan selamat,"

Tetapi sekali lagi suster itu tidak menyahut, dan hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. 

Sementara aku masih lemas terkulai di ruang inap untuk proses pemulihan.

"Buk, aku tak muleh sek yo tak ngabari wong omah karo tak cepak-cepak ubo rampene anak’e dewe, klambi sampean barang. (Buk aku pulang dulu ke rumah, aku mau mengabari orang-orang di rumah serta mempersiapkan keperluan anak kita dan baju kamu juga)," ujar suamiku berpamitan.

Dengan lemas, aku menganggukan kepala sambil berkata pada suami.

"Hati-hati di jalan ya mas."

Suamiku bergegas pergi meninggalkan ruang bersalin. 

Ketika ia melewati lorong-lorong dan melintasi kamar pasien yang di rawat di sana, semua orang memandang ke arah kaki suamiku. 

Ia mengayunkan langkah sembari menginjak tanah.

Suamiku mencoba bersikap ramah dan menyapa salah satu pasien, akan tetapi pasien tersebut tidak menjawab sepatah kata pun, semua hanya diam. 

Suster dan Dokter juga banyak yang lalu lalang, tapi mereka diam semua. 

Dari sini mulai ada kejanggalan yang dirasakan suamiku, hingga saat itu bulu kuduknya berdiri. 

Akan tetapi dia berusaha menepis rasa itu. 

Dia pun sampai di parkiran dan menyalakan mesin motornya untuk pulang.

Esok harinya pagi jam 05.00 WIB, suami kembali ke rumah sakit untuk menjemputku dan anak tercinta kami. 

Namun, sesampainya di depan gerbang masuk, suamiku langsung terkejut dan merasa aneh, tak ada satpam, tak ada mobil ambulans, tak ada suster dan dokter yang lalu lalang.

Rumah sakit itu tampak sepi sekali seperti bangunan kosong telah lama tak dipakai. 

Tetapi suami harus segera mencari keberadaanku. 

Sambil diliputi rasa takut dan khawatir, ia terus bergegas menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi semua kamar inap yang semalam penuh pasien menjadi kosong dan tak ada seorang pun di rumah sakit itu. 

Bangunan itu tampak kotor, penuh debu dan barang-barang berserakan. 

Tak ada satupun orang di situ.

Suamiku makin merinding dan cemas jantungnya berdegup kencang. 

Tetapi akhirnya ia berhasil menemukan keberadaanku. 

Sesampainya di kamar inap pascamelahirkan di mana aku dirawat  semalam, ia tercengang kaget. 

Ia tak menemukan aku di sini. 

Ia semakin cemas dan takut, tetapi dia tetap beranikan diri sambil menangis dia memangil-manggil namaku. 

Dia mencari ke setiap lorong kamar, tetapi tak ada sahutanku. 

Dia berlari dan terus mencari istri dan anaknya.

"Buk, buk ya Allah... sampean nek endi toh buk. ( Buk, buk ya Allah... kamu di mana buk?)," teriaknya.

Tiba-tiba langkahnya pun terhenti, ada satu lorong yang belum dilewati, yaitu lorong kamar mayat.

Dia pun langsung bergegas menuju ruangan itu .

Langkahnya pun terhenti saat di depan pintu bekas kamar mayat, karena mendengar suara isak tangisku dan bayiku dari dalam ruangan kamar mayat tersebut. 

Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu kamar mayat.

Dia tercengang kaget mendapati aku menangis duduk, sambil memeluk erat bayiku dengan wajah yang pucat pasi dan terlihat wajah ketakutan yang luar biasa. 

Dia pun lega dan kami berhasil keluar dari gedung tak berpenghuni itu.

Kami pulang ke rumah. 

Sesampainya di rumah kami mengadakan acara selamatan besar untuk anak laki-laki kami. 

Aku tak bisa berpikir sehat, bahwa yang telah membantu melahirkan putraku adalah mereka yang tak kasat mata. 

Ari-ari putraku turut dibawanya ke alam lain. 

Kami baru sadar bahwa gedung rumah sakit itu telah lama dikosongkan semenjak 5 tahun lalu. 

Rumah sakit itu telah menempati gedung baru yang tak jauh dari gedung lama. Tempat di mana aku bersalin.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Tommy Ardyan Reporter: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co