GenPI.co - Nama Marsinah selalu dikenang dalam perayaan Hari Buruh atau Mayday. Perempuan yang menjadi simbol perjuang buruh ini harus kehilangan nyawanya akibat melawan penguasa di zaman Orde Baru.
Marsinah meninggal pada 8 Mei 1993, kasusnya menjadi salah satu pelanggaran HAM yang tak kunjung diselesaikan.
BACA JUGA: Merinding, Ratusan Jenazah Covid-19 Ditemukan di Truk
Sosok Marsinah menjadi salah satu contoh yang patut diteladani. Ketidakmampuan ekonomi tidak menyurutkan dirinya untuk terus belajar dan menimba ilmu.
Meski terpaksa mengubur cita-citanya untuk berkuliah di IKIPd an terjun menjadi buruh pabrik. Selain kecintaannya dalam membaca buku, Marsinah membekali dirinya dengan mengikuti kursus komputer dan Bahasa Inggris.
Dirinya percaya bahwa pengetahuan dapat merubah kehidupan seseorang. Marsinah juga rajin mengkliping koran yang menjadi koleksinya tersendiri. Keberanian dirinya ditunjukan dengan selalu membantu karyawan lain yang menerima ketidakadilan.
Pada tahun 1993, para buruh di mana tempat Marsinah bekerja menuntut kenaikan upah. Tuntutan kenaikan dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari tak juga kunjung dipenuhi.
Akhirnya seluruh buruh melakukan mogok massal demi terpenuhinya tuntutan tersebut. Aksi unjuk rasa itu dipimpin oleh Marsinah. Tentara pun dikerahkan untuk meredam aksi para buruh tersebut.
Marsinah akhirnya dipanggil Kodim Sidoarjo dan diminta untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Ia menolak keras dan mengancam melaporkannya pada pengadilan. Setelah kejadian itu, Marsinah menghilang selama 3 hari.
BACA JUGA: Butuh Waktu Lama, 5 Zodiak Ini Sulit Mendapatkan Jodoh
Kemudian mayatnya ditemukan di Hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan penuh bekas luka penyiksaan berat dengan benda tumpul. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News