Perjalanan Merah Putih ke Puncak Tambora

19 April 2018 22:54

Bulan April tanggal 10. Jarum jam berada tepat di angka sembilan. Matahari mulai terasa menyengat. Sebuah kerumunan besar berkumpul di satu sudut pos perijinan pendakian Gunung Tambora. Saya tergabung dalam sebuah kelompok berjumlah 200 orang itu. Hari itu kami diberikan sebuah tugas mendaki hingga ke bibir Kaldera Gunung Tambora. Misinya hanya satu, membentangkan bendera Merah Putih raksasa dengan panjang 203 meter.

Misi membentangkan bendera 203 meter di bibir kaldera Gunug Tambora adalah inti dari kegiatan Teka Tambora.  Ini merupakan rangkaian dari kegiatan Festival Pesona Tambora 2018.

Kegiatan ini sebagai bentuk napak tilas kami akan sejarah yang ditorehkan oleh satu-satunya gunung api aktif yang ada di Pulau Sumbawa 203 tahun lalu itu. Sejarah yang memberi warna  perjalanan  dunia saat itu.  Akibat letusan Tambora, bahkan membuat negara-negara di Eropa tidak menikmati matahari selama 30 hari. Dan Misi ini sekaligus menunjukan kepedulian kami akan  kelestarian Gunung Tambora.

Perjalanan menuju puncak Gunung Tambora kali ini terasa berbeda. Biasanya, sebagian besar pendaki masuk ke Gunung Tambora melalui jalur Pancasila, yang letaknya di desa Pancasila, Kabupaten Dompu. Namun misi pembentangan 203 meter bendera Merah Putih kami mulai dari Desa Kawinda Toi, Kabupaten Bima. Nantinya pun jalur ini dinamakan jalur Kawinda Toi.

Setelah hening sejenak menundukan kepala untuk meminta perlindungan kepada Sang Pemilik Alam, kami memulai pendakian. Tampak wajah yang masih sangat ceria, masih murah senyum. Hati kami penuh  semangat menuju puncak Gunung Tambora.

Melalui Jalur Kawinda Toi, kami harus melewati lima pos. Pos satu, dua dan tiga berada di dalam lebatnya Hutan Gunung Tambora Pos empat berada di perbatasan hutan dan padang savana.  Sementara pos terakhir berada di tengah-tengah padang savana nan luas.

Dari pos perijinan kami langsung disambut oleh sungai yang sangat jernih. Alirannya yang cukup deras membuat kami harus saling membantu. Canda dan tawa mengiringi penjelajahan kami. Hutan Gunung Tambira yang begitu asri memberi asupan oksigen dalam paru-paru. Taka da yang mengeluh kecapaian. Semua masih semangat.

Butuh 2,5 jam menembus hutan belantara Gunung Tambora. Ketika tiba di pos dua, kami beristirahat sejenak untuk rehat makan siang. Di pos ini terdapat sungai yang jernih. Botol-botol minuman kami kembali penuh terisi. Setelah beristirahat kurang lebih satu jam, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Ketika itu, jarum jam sudah di angka satu. Wajah-wajah yang awalnya cerah ceriah penuh semangat, kini berganti rupa. Letih sudah mulai terasa. Namun bayangan Puncak Tambora yang menguasai benak menguburkan rasa letih itu dalam-dalam. Semangat terus bergelora seriring langkah-langkah kami menapaki inci demi inci menuju puncak.

Dari pos dua, kami berjalan kurang lebih 1,5 jam untuk sampai di pos tiga. Di sini kami hanya istirahat sebentar saja. Beberapa peserta duduk berselonjor untuk melemaskan otot betis. Sementara yang lain tampak khusyuk menunaikan kewajiban sholat. Letih memang semakin terasa. Namun bagi para mereka yang kerap mendaki, perjalanan hingga k epos ketiga ini tidak ada apa-apanya. Perjuangan sesuangguhnya adalah saat mencapai pos selanjutnya.

Dari pos ketiga, jalanan mulai menanjak naik. Jalur ini dinamakan Tanjakan Penyesalan. Tidak salah memang. Pendaki pemula pasti akan menyesal ketika berhadapan dengan jalur ini. Otot-otot betis mulai meronta kesakitan. Satu-persatu peserta mulai terlihat kepayahan. Namun tak ada yang menyerah. Misi membentangkan Merah Putih melahirkan semangat yang membuncah, mengalahkan rasa sakit dan penat.

Pukul 5 sore kami tiba di Pos Empat. Savana yang maha luas terbentang tepat di depan mata. Di titik ini kami mendirikan tenda untuk bermalam.  Sembari mengisi tenaga yant telah terkuras habis,  kami melakukan segala persiapan untuk “summit attack” pada esok dini hari.

Gelap Gulita masih melingkupi bentangan savana. Namun saya dan 199 orang lainnya sudah siap melanjutkan perjalanan. Berbekal headlamp, kami berjalan beriringan menembus pekatnya gelap. Dini hari yang masih sunyi membuat bisik angin melalui rerumputan terdengar begitu jelas. Sebagian besar peserta berjalan dalam diam. Mungkin masing-masing dari kami ingin menikmati sunyi yang syahdu.

Dua jam berikutnya, langit timur mulai semarak oleh semburat warna jingga. Saat itu kami sudah berada di punggung Gunung Tambora. Sejauh mata memandang, hanya hamparan luas padang savana Gunung Tambora yang samar-samar mulai terlihat. Di sisi barat, nampak pula siluet Pulau Moyo dan Pulau Satonda.

Bibir kaldera Gunung Tambora sudah mulai menampakan dirinya. Menganga bak mulut harimau yang siap menelan mangsanya. Namun tenang saja, Gunung Tambora saat ini tak seganas pada April 1815. Saat ini Gunung Tambora begitu ramah kepada siapa pun yang datang maupun tinggal di sekitarnya. pesona alamnya, kandungan sumber daya alamnya telah mampu memberi hidup ratusan ribu masyarakat yang berdiam di sekitar kakinya.

Langkah sudah tertatih. Penat sudah terasa hingga ke ubun-ubun. Setelah 3 jam berjalan tanpa henti, tibalah kami di tempat tujuan.  Rasa lelah yang selama kurang lebih 24 jam ini kami rasakan seolah-olah langsung hilang begitu saja. Lenyap oleh pesona Gunung Tambora yang begitu dashyat. Kaldera yang diameternya mencapai 9 km lebih itu menjawab semangat kami, semangat yang begitu membara untuk sekeder duduk bersamanya.

Tak menunggu lama, Bendera Merah Putih raksasa yang kami bawa dari awal pendakian pun kami batangan.  Panjangnya bendera menghiasi bibir kaldera Gunung Tambora. Lagu Indonesia Raya berkumdangan dengan syahdu menyambut bentangan gagah Merah Putih itu. Tak ada yang bisa berkata-kata, hanya rasa syukur dalam hati lantaran bakti sudah tunai.

Tahun 1815, Gunung Tambora meletus dengan dahsyatnya. Gunung yang tingginya mencapai 4000 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu terpangkas hampir setengah. Tiga Kerajaan di kaki Gunung Tambora, yakni Pekat, Sanggar dan Tambora lenyap dalam sekejap. Suara letusannya terdengar hingga pulau Jawa dan Sumatera. Bahkan belahan bumi lain merasakan dampaknya. Tahun meletusnya Gunung Tambora pun terkenal dengan sebutan ‘Tahun Tanpa Matahari’. Tak ayal, letusan Gunung Tambora merupakan letusan Gunung Berapi terdahsyat sepanjang sejarah peradaban modern.

Dan kini, 203 tahun setelahnya, kami berbondong-bondong menuju Puncak Gunung Tambora. membentangkan bendera Merah Putih tepat pada bekas amukannya. Bendera sepanjang 203 meter yang kami bentangkan menjadi simbol sekaligus ikrar kami untuk selalu menjaga kelestarian Gunung Tambora, sampai kapan pun!

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred
Tambora   Kaldera   Merah Putih   NTB   Sumbawa  

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co