Putus Asa Setelah Kehilangan Jejak Kawan ( 3 – habis)

09 Oktober 2018 13:42

Papi Share yang selalu aku ikuti itu tiba-tiba sudah menghilang,  tidak kelihatan lagi. Aku mulai panik, bingung dan takut bercampur aduk menjadi satu. Apakah hari ini, aku akan mati ? Pertanyaan itu sempat menghantui perasaanku. 

Tanpa kusadari, air mataku mulai menetes membasahi pipi yang sudah mulai lengket. Sementara, di depan mataku masih banyak warga lokal yang berlarian sembari berteriak-teriak histeris. Ada yang minta tolong, ada yang menyebut nama, mungkin anak, bapak atau ibunya. Situasi semakin tidak menanti. Sementara, bumi masih terus berguncang. Bahkan, rasanya ada yang bergerak dan seperti ada bagian bumi yang merekah, retak.

Aku melihat banyak orang terjatuh dan terpelanting. Mereka membutuhkan pertolongan. Tidak sedikit pula yang berusaha menolong orang-orang yang terjatuh. Tapi apa dayaku, aku hanya bisa melihat penderitaan itu. Aku sendiri sudah tidak berdaya. Kepalaku mulai nyut-nyutan, pusing.

Rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Rasanya mau pingsan. Dan bumi berguncang lagi, guncangannya seperti mengocok perut. Guncangan keras itu seperti menyadarkan aku dari bayang-bayang burukku. Aku harus kuat, aku harus bertemu dengan teman-temanku lagi. Aku harus mencari mereka, Papi Share, Widi, Anna dan seterusnya.

Tiba-tiba wajah-wajah mereka ada dalam bayangku. Untuk menghilangkan rasa takut, dan khawatir aku masih mencoba merekam video bencana ini. Kemudian, kembali lari meninggalkan lokasi. Aku harus lari kemana sekarang? Tanpa banyak berpikir, aku ikuti saja warga lokal yang masih banyak berlarian.

Tetapi, masyaallah… mereka larinya kencang. Aku tertinggal lagi sama mereka. Aku terpaksa tengok kanan tengok kiri mencari teman. Tiba-tiba aku ketemu seorang anggota TNI. Orangnya sangat baik. Lalu ia memintaku  mengikutinya. 

Oleh anggota TNI yang baik ini, aku diantar ke sebuah masjid.  Masjid itu tidak terlalu besar, dan ternyata juga tidak terlalu jauh dengan bibir pantai. Nama masjid itu aku tidak memperhatikannya. Namun, Pak TNI ini bilang di situ sudah aman. Di dalam masjid berlantai dua itu ternyata sudah penuh sesak manusia. 

Mulai dari nenek-nenek, ibu-ibu dan anak-anak. Aku sempat melihat banyak sekali anak-anak balita bahkan bayi.  Aku tidak mau bertanya lagi. Aku sudah pusing. Jadi aku percaya dan ikuti saja kata dia. 

Yang pasti aku sudah tidak mungkin lagi beristirahat, apa lagi menenangkan diri di dalam masjid itu.  Tetapi halaman masjid ini cukup luas. Bahkan sangat luas, seperti lapangan. Di situ juga sudah ada banyak manusia berkumpul. Kebanyakan, adalah kaum lelaki. Akhirnya, aku memilih berada di luar di halaman masjid Bersama kaum lelaki. 

Dan nampak beberapa petugas dari TNI dan juga aparat pemerintahan sedang mendirikan tenda-tenda pengungsian. Tetapi, begitu tenda berdiri langsung dipenuhi manusia. Begitu pula dengan tenda-tenda berikutnya. Malam itu ada sekitar empat tenda yang didirikan di halaman masjid. Semuanya langsung penuh. 

Malam mulai beranjak gelap. Listrik padam. Sementara, bumi masih terus bergoyang, meski kadang berhenti. Gempa masih terus terjadi. Sebelum semuanya padam, aku masih sempat mendapatkan sinyal hape. Namun, begitu listrik padam, sinyal hape juga langsung pet, no service!

Aku seperti kehilangan arah, tidak punya ide dan tidak tahu apalagi yang bisa aku lakukan. Aku juga  tidak tahu mau kemana. Aku telah kehilangan jejak teman-temanku. Aku pun mulai khawatir, bagaimana dengan nasib teman-temanku. Tidak ada kabar beritanya. Tidak lagi bisa saling memberikan kabar atau informasi. Di tengah kegelapan malam itu, dan gempa masih terus berlangsung. Lagi-lagi aku menangis, hanya bisa menangis!

Tiba-tiba muncul sinyal di hapeku. Dan tiba-tiba ada chat masuk ke hape. Ternyata dari mbak Iffa. Bunyinya, “Saya dan mbak Nana lagi naik motor menuju ke bandara.” Saat itu pula, aku ingin bergegas ke bandara. Tetapi bagaimana caranya? Sedangkan kondisinya juga gelap, gelap gulita. Aku menangis lagi. Aku ditinggal teman-teman.

Tiba-tiba ada orang mendekatiku. Seorang anak muda, atau tepatnya masih bocah. Dan ternyata seorang mahasiswa.  “Kenapa mbak menangis? Mbak dari mana dan mau kemana?” anak muda itu bertanya. Rasanya senang mendapat pertanyaan itu, ada harapan pikirku. Belum sempat menjawab pertanyaanya, anak muda itu meneruskan pertanyaannya,” mbak sakit, ada luka? Kenapa menangis,” ujarnya lagi.

Aku tidak menjawab semua pertanyaannya. Sambil menyeka wajah, mengusap air mata, aku bertanya kepadanya,”Kamu bisa tolongin aku antar  ke bandara nggak?”. Tanpa kuduga, ternyata bocah ini bersedia mengantarnya. “Bisa mbak. Tapi naik motor ya,” katanya pendek. Aku langsung meng”iya”kan tawaranya.

Tanpa banyak berdiskusi anak tadi langsung mengambil motornya. Sementara malam semakin gelap. Tidak ada penerangan sama sekali. Mungkin, aliran listriknya sudah terputus. Pembangkitnya rusak, atau jangan-jangan PLN nya sudah roboh terkoyak gempa bumi. Ketika aku sedang berandai-andai seperti itu, anak tadi tiba-tiba sudah berada di depan mata dengan motornya. 

Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan aku langsung naik ke boncengannya.  Langsung tancap gas, menuju ke bandara. Sepanjang perjalanan, aku melihat semua orang berdiri  di luar rumah. Orang-orang berkerumun di halaman rumahnya. Jalanan juga rusak. Ada yang aspalnya naik, ada jalan yang terbelah. Tetapi, masih bisa dilalui motor. Dalam perjalanan itu aku baru menanyakan namanya. “Saya Ferdi mbak,” jawabnya. 

Sebelum ke Bandara aku meminta diantar ke hotel. Bukan untuk mengambil barang. Tetapi aku ingin mencari air minum. Karena aku berpikir, pasti dalam situasi seperti ini, kami akan kesulitan mendapatkan air minum. Bayanganku, di hotel masih bisa mendapatkan air minum botol.

Ternyata dugaanku salah. Hotel tempat kami menginap itu sudah rubuh. Pintu gerbang ke hotel itu  tertutup reruntuhan beton yang sangat besar. Aku tidak mungkin lagi masuk kesana.  Semua barang-barangku yang ada di dalam hotel harus dilupakan.

Aku merasa tidak perlu berlama-lama di hotel yang sudah rubuh itu.  aku putuskan untuk langsung ke bandara dengan bekal seadanya. Tanpa koper lagi, juga air minum. Karena koper aku pasti sudah berada di bawah puing-puing beton hotel. Dari hotel aku langsung menuju ke bandara. Menyusuri jalan gelapnya malam, ditengah gempa yang sekonyong-konyong terus datang.

Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke bandara. Listrik di bandara masih menyala. Nampaknya menggunakan genset, atau mungkin punya pembangkit sendiri. Saya tidak tahu persis. Di bandara sudah dipenuhi orang. Seperti sebelumnya, di masjid. Saya menyisir lapangan bandara. Untuk mencari mbak Iffa dan mbak Nana.

Juga mungkin yang lain, Widi, Pak Putu semua anggota rombongan kami dari Jakarta. Entah sudah berapa kali aku menyusuri lapangan bandara itu. Tetapi tak jua menjumpai kawan. Aku mulai putus asa. Beruntung, Ferdi masih mau menemaniku terus menyusuri kerumunan massa.

Badan makin terasa lelah. Emosi ku mulai tak terkontrol, mulai putus asa. Tak kusadari, air mataku mulai meleleh membasahi pipi. Aku mencoba mengusapnya dengan lengan. Namun, dada terasa makin sesak. Aku mulai dicekam kekhawatiran. Dihantui pertanyaan-pertanyaan menyedihkan. Jangan-jangan mbak Iffa kenapa-kenapa, jangan-jangan Nana gak nyampai ke sini.

Aku berhenti sejenak, sambil menangis. Lalu mencari tempat duduk. Disaat ketidakjelasan perasaanku, tiba-tiba aku melihat ada orang menerima telepon.  Gadgetnya jadul banget. Aku pun terbelalak, “Ada sinyal !” kataku. Lalu  kukeluarkan hape ku dari saku celanaku. Aku nyalakan, dan ternyata tidak juga ada sinyal. No signal !

Kuberanikan diri untuk menanyakan ke orang yang baru saja menerima telepon. “Maaf, bapak ko bisa menelpon. Pakai kartu apa?” tanyaku. Bapak itu memperlihatkan hape jadulnya. Owh, beda provider. Lalu bapak itu bertanya, “Adek lagi mencari siapa?" tanyanya.

“Sedang mencari teman-temanku, rombongan dari Jakarta,” jawabku.  Lalu bapak itu bilang,"Hari sudah gelap. Mencarinya dilanjut besok pagi saja,” ujarnya. Lalu ia menawarkan aku untuk bergabung dengan rombongan istrinya, bersama warga. Akhirnya, kami tidur di lapangan dengan beralaskan tikar. Rupanya, warga yang datang ke lapangan bandara sudah membawa tikar dari rumah. Aku sempat terlelap…

Pagi itu udara cerah. Tapi gempa bumi sepanjang sore hingga malam kemarin meninggalkan puing-puing duka. Jalanan aspal ada yang mengelupas, rumah ambruk, beton-beton bekas bangunan teronggok bisu. Nampak ratusan petugas bekerja sama dengan warga berusaha membongkar reruntuhan beton bekas rumah-rumah yang roboh. Mereka mencari orang-orang yang tidak beruntung dalam bencana gempa bumi dan tsunami itu.

Aku Bersama Ferdi mencari warung untuk membeli kartu perdana, yang masih bisa dijangkau sinyalnya. Dan ternyata aku masih bisa mendapatkan. Dan aku berhasil. Dengan kartu perdana itulah, akhirnya aku bisa kembali berkomunikasi. Aku bisa chat dengan yang lain. Dari situ aku langsung mendapatkan kabar dari teman-teman. Misalnya, Jak mengabarkan keberadaannya di Korem.

Aku pun mulai kegirangan. Aku Bersama Ferdi menuju ke lapangan Korem. Sesampainya disana, ternyata lapangan Korem juga dipadati manusia. Aku susuri lapangan Korem yang tidak seberapa luas itu. Bebarapa kali aku berputar lapangan, tapi aku tidak menemukan siapa pun. Termasuk Jak, yang baru saja mengabarkan keberadaannya di lapangan Korem.

Aku memberanikan diri menanyakan kepada petugas TNI yang bertugas. Ia menyarankan untuk mencari ke  lapangan wali kota. “Coba dicari di lapangan wali kota,” kata petugas itu. Suasana lapangan wali kota tidak jauh berbeda dengan lapangan di Korem. Penuh dengan pengungsi.

Siang makin terik. Matahari seakan membakar kulit. Teriknya matahari semakin membuat suasana sedih. Lapangan walikota dipenuhi banyak kasur rumah sakit. Ratusan orang korban bencana itu sedang menjalani perawatan. Puluhan petugas medis nampak sangat sibuk, dengan peluh dan keringat yang mengucur. 

Aku berkeliling di lapangan wali kota. Lagi-lagi tidak menemukan satupun teman-teman dari Jakarta. Kembali aku bertanya, dimana lagi tempat pengungsian. Petugas menyarankan aku ke lapangan Rumkit. Aku sedikit bingung, dimana lapangan Rumkit. Ternyata, yang dimaksud Rumkit adalah rumah sakit umum.

Aku menuju ke Rumkit. Ternyata disana kondisinya lebih menyedihkan. Rasanya lebih panas dari dua tempat sebelumnya, lapangan korem maupun lapangan wali kota. Ada tiga atau empat tenda yang berdiri di lapangan Rumkit itu. Semuanya penuh dengan korban-korban bencana.

Aku baru menyadari, bencana semalam telah memakan banyak korban manusia. Korban yang cedera, maupun yang meninggal dunia. Aku keliling lapangan Rumkit. Masuk ke tenda-tenda, siapa tahu ada temen-teman aku yang menjalani perawatan di sini. Sampai beberapa kali putaran aku tidak mendapatkan siapa pun.

Setelah tidak ada hasil, aku memutuskan kembali ke lapangan wali kota. Mencari sinyal telepon. Dan ternyata benar, sesampainya di lapangan wali kota, teleponku mendapatkan sinyal. Ada beberapa chat masuk secara bertubi-tubi. Pertama, Susan mengabarkan otw ke bandara, kemudian disusul David  juga ke bandara. Jak sudah berada di bandara.

Rombongan Pak Putu juga sudah ada di bandara. Hanya Rani dan Widi  yang belum diketahui keberadaannya. Aku sudah cukup lega bisa berkumpul dengan rombongan. Hingga akhirnya kami bersama-sama kembali ke Jakarta. Dan sesampainya di Jakarta, saya mendengar Rani dan Widi juga selamat. Malah sudah mejeng di sebuah televisi. Aku hanya bisa bersyukur, Tuhan telah menyelamatkan aku dari bencana yang maha dahsyat ini. ( tamat)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co