Sumpah Mati... Edo Aku Cinta Kamu

20 Februari 2020 19:04

GenPI.co - Banyak orang mengatakan bagian kehidupan paling menyenangkan itu saat masih duduk di bangku SMA. Namun, nyatanya aku tidak merasakan sedikit pun hal tersebut. 

Semuanya sangat jauh dari kata menyenangkan hingga akhirnya aku bertemu dengan Edo.

"Hallo semua, namaku Erina. Aku murid pindahan dari salah satu sekolah swasta di Jakarta," ucapku dihadapan banyak mata.

BACA JUGA: Cintaku yang Terpendam... Oh Kiara

"Baik Erina terima kasih, kamu bisa duduk di situ ya," ujar wali kelas, sambil menunjuk bangku pada baris ke tiga di ruangan kelas.

"Hallo, aku Erina. Semoga aku nggak ganggu kamu ya duduk di sini" tuturku malu, sambil melihat kearahnya.

"Aku Edo, nanti kalo kamu masih bingung sama sekolah ini, istirahat di kantin sama aku aja ya," tutur Edo sambil menyalin materi yang ada di papan tulis.

Hari pertama aku masuk sekolah ini rasanya cukup baik, tidak terlalu sulit bertemu dengan orang baik khususnya Edo. Aku hanya berharap bisa betah bersekolah disini. 

Pasalnya, beberapa kebiasaan di sini cukuplah berbeda dengan di Jakarta. Mulai dari cara berpakaian, candaan, hingga bahasa. Mungkin aku harus cepat membiasakan diri, agar tidak terus merasa asing jadi anak baru.

"Eh anak baru ya? kamu nggak ke sekolah nggak pake kaos kaki ya? ih jorok banget," tutur Nike, teman sekelasku.

"Oh ini pake kok cuma emang pendek banget nggak keliatan ya," jawabku.

BACA JUGA: Gubernur Anies Ogah Komentar Soal Formula E

"Ya ampun ternyata gitu ya gaya hits di sekolah swasta Jakarta, kok kota rasa kampung! Haha," ledek Nike sambil tertawa

Saat berusaha ingin membalas, tanganku ditarik oleh Edo. Rupanya, ia tidak hanya ingin aku berdebat dengan salah satu anggota geng centil yang ada di sekolah ini. Tentu, disetiap sekolah memiliki kelompok yang dianggap harus dihindari agar tidak mendapatkan masalah. 

Nike adalah salah satunya, kerap mencari keributan. "Kita duduk dikoridor aja ya, kalo ada mereka kantin suka berisik banget," tutur Edo

"Haha, Thank You ya Do kamu narik aku tadi, kalo nggak aku jawabin terus tuh omongan mereka," sambil tersenyum pada Edo.

"Haha, iya aku hanya nggak suka ribut-ribut, kalau misalnya masih gitu juga aku bakalan bikin mereka diem," jawab Edo.

Sejak saat itu aku mulai sangat dekat dengan Edo. Rasanya, tidak masalah aku tidak berteman dengan yang lain asalkan tidak jauh darinya. Ia berbeda dengan yang lain. 

BACA JUGA: NasDem Usung Menantu Jokowi, Bobby Nasution Calon Wali Kota Medan

Edo sosok yang tidak terlalu banyak berbicara, hobinya pun sangat kalem. Hanya membaca buku sambil mendengarkan musik dengan headsetnya.

Karena sangat pendiam, rasanya aku tidak pernah merasa Edo berbicara dengan seorang pun yang ada di kelas. Tapi rasanya itu tidak masalah untukku, karena selama didekatnya aku merasa tidak pernah diganggu oleh orang lagi. 

Tidak hanya sering melakukan aktivitas bersama di sekolah. Setelah setengah semester sekolah berjalan, Edo mulai berani untuk mengantarkan aku pulang kerumah, walau hanya berjalan kaki.

Hingga suatu hari, saat perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku tidak tahan untuk bertanya sesuatu pada Edo.

"Do, kenapa sih kamu baik banget sama aku?," tanyaku

"Karena cuma kamu juga yang mau ajak aku ngobrol kayak temen deket gini," jelas Edo.

BACA JUGA: Wabah Virus Corona, Kapal Perang Dikerahkan Jemput WNI di Jepang

"Jadi kita cuma sebatas teman deket nih? nggak lebih? atau kamu ternyata selama ini udah punya pacar ya? kamu kan ganteng Do, masa nggak ada yang suka sama kamu sih," tanyaku bawel tanpa henti.

"Nggak ada dan aku nggak mungkin milikin kamu," jawabnya singkat.

"Bisa kok kalau kamu mau berjuang buat aku, hihihi" godaku pada Edo sambil colek pipinya.

"Nggak mungkin Erina" tutup Edo sambil menepis perlahan tangaku dari pipinya.

Setelah ia melakukan itu, aku pun tidak lagi berbicara sepanjang perjalanan pulang.

BACA JUGA: Pemain Sinetron Aulia Farhan Ditangkap Pakai Sabu

Aku tidak habis pikir, apa yang bisa membuat Edo menjadi sosok orang yang sangat diam. Apa ternyata perasaan sukaku sudah sangat jelas terlihat di hadapannya makanya ia menghindar?

Tapi memang, hal yang aku katakan dari padanya itu maksud yang terselubung dalam candan. Tapi nampak direspons secara serius, mengapa ia katakan hal tersebut adalah tidak mungkin? Sungguh orang yang misterius.

"Erina, bagaimana rasanya setelah setengah tahun bersekolah disini?," tanya Rina guru bimbingan konselingku.

"Baik bu, cukup betah walau nggak punya banyak teman, tapi tetap ada yang nemanin dan bantu," jawabku senang.

"Bagus kalau begitu soalnya, ibu mendapatkan laporan dari wali kelas kamu katanya kamu suka melamun, apa mungkin kamu sedang ada masalah?," tanya ibu Rina

"Hmm rasanya nggak ada bu," jawabku singkat dan hilangnya senyum di wajahku

"Beberapa anak juga mengatakan, kamu lebih sering menyendiri dari pada berbaur dengan yang lainnya," tanya ibu Rina

BACA JUGA: Persebaya Vs Persija, Babak Pertama 1-1

"Aku nggak pernah sendirian bu, selalu bareng Edo temen sekelas aku juga," jawabku meyakinkan

"Erin, di kelas nggaka ada yang namanya Edo," Sambil menunjukan daftar absen.

"Nggak mungkin, dari pertama kali masuk kelas aku duduk sama dia bu," jawabku sambil mengerutkan dahi.

"Erin kenal dekat dengan Edo? orangnya gimana?," tanya lembut Ibu Rina

"Banget bu, aku nggak pernah lepas dari dia, baik cuma agak pendiem, aku juga tau hobi dia dengerin musik dan baca buku," ucapku bersemangat

"Erin, ibu mau nunjukin sesuatu buat kamu," sambil memberikan sebuah buku kecil berwarna biru tua.

"Ini kan buku Edo bu, kok ada di ibu? " tanyaku bingung

"Iya ini buku milik almarhum Vitto Edo Putra," jawab Ibu Rina berusaha menenangkan.

Vitto Edo Putra adalah orang yang aku biasa panggil dengan nama Edo. Sosok yang menjadi korban bully disekolah ini hingga merenggut nyawanya. Edo jatuh dari lantai tiga sekolah karena didorong oleh teman sekelasnya.

Sama denganku 5 tahun lalu rupanya Edo merupakan siswa pindahan dari Surabaya. Karena cukup sulit beradaptasi dengan orang sekitar rupanya ia lebih suka menyendiri dengan membaca buku dan mendengarkan musik. 

Setelah bimbingan konseling, aku menyadari ternyata Edo yang aku kenal baik dan selalu menemaniku tidaklah nyata. Ia sama denganku, seseorang yang tidak memiliki teman. Kami yang selalu merasa sepi di tengah keramaian.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Cahaya Reporter: Asahi Asry Larasati

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co