Suamiku, Kekasihku, Sahabatku, Aku Mencintaimu!

23 April 2020 16:35

GenPI.co - Doni. Nama itu adalah segalanya bagiku. Aku dan dirinya sahabat karib sejak duduk di bangku SMA.

Kedekatanku dengan Doni membuat kami berdua kerap dianggap sepasang kekasih. Namun sejatinya bukan. Karena, Doni menganggap aku adalah teman, demikianpun aku, atau setidaknya begitu yang ia kira.

Padahal, sebenarnya aku tak keberatan kalau Dini jadi lebih dari sekadar sahabat. Jujur, kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan padaku membuatku jatuh hati padanya. Ia selalu ada untukku, dalam segala kondisi, saat susah maupun senang.

Aku masih ingat, Doni rela meninggalkan kesibukan pekerjaannya untuk terbang ke Bali. Ia datang menjemputku yang berusaha lari dari masalah yang tengah menghimpitku sedemkian hebat

Kala itu aku mengalami patah hati. Ben, kekasih ku, memutuskan hubungan kasih kami berduia demi perempuan lain. Rasanya kalau tidak ada DOni yang menguatkanku, aku sudah tidak ada saat ini.

“Ngapain lo di sini? Meratapi nasib?” Begitu ucap Doni suatu petang saat kami berada di pantai Kuta, memandangi semburat keemasan di horizon.

Ucapannya memang ketus. Tapi aku bisa merasakan kekhawatiran dalam irama biacaranya. Aku diam saja, enggan membalas sorotan tajamnya.

BACA JUGA: Sepucuk Surat yang Tak Pernah Sampai Kepada Kekasih: Aku Rindu!

Ben memang biadap. Ia seketika mengubah persepsiku tentang laki-laki. Bagaimana tidak, pernikahan kami sudah ditetapkan dan kedua keluarga telah bertemu. Namun di detik-detik terakhirm ia memutuskan hubungan lewat satu kalimat yang dikirim via WhatsApp.

Aku malu lantaran perlakuan Ben. Begitu juga dengan ayah dan ibuku. Mereka dengan begitu senangnya memberitahu banyak orang jika putri sulung mereka segera melepas masa lajang. Namun, ah.. mengingat semua itu membuat hatiku semakin berdarah saja. Tanpa sadar air mata kembali meluncur turun dari mataku yang sudah sembab.

“Dengan melarikan diri, semua masalah lo selesai?” Kembali Doni yang duduk di sampingku bersuara. Kali ini nadanya manjadi lebih lembut.

Lalu tangannya mengusap pipiku, mencoba menyeka air mata yang menganak sungai. Aku lalu menghambur ke pelukannya. Menangis sejadi-jadinya hingga bajinya basah oleh air mataku. Namun di sela tangis, aku merasakan hangat peluknya. Rasanya nyaman dan membuatku enggan beranjak.

Suatu kali, aku yang mulai merasakan desir-desir lain dari jalinan persahabatan kami berdua ini mencoba mencari tahu perasaannya. Aku tak mau berbelit-belit, jadi kutanyakan saja apa sebenarya yang terjadi antara aku dan dia.

“Gue nggak mau persahabatan kita jadi rusak. Kalau kita pacaran dan putus maka hububgan kita bisa hancur. Kalau sahabat selamanya akan jadi sahabat,” begitu ujarnya.

Aku diam saja mendengar jawabannya. Ada sedikit kecewa yang menyeruak dan kutahan sengan sekuat tenaga.  Aku pikir, bersahabat juga tidak ada salahnya, toh mencintai tak harus memiliki. Persis seperti hubungan unik  Park Dong-hoo dan Lee Ji-an di Drakor My Mister yang tayang 2018 lalu.

Persahabatan aku dan Doni berlanjut, hingga membuat kami mengelola sebuah studio foto. Selama itu juga perasaaanku pada Doni masih menyala. Aku menyukainya lebih dari seorang sahabat. Dan, selama ini aku menikmati perasaan itu tanpa tantangan. Karena Doni pun tidak pernah dekat dengan perempuan lain selain diriku.

Dalam menekuni perkerjaan, aku dan Doni pun kerap dianggap sebagai suami istri oleh klien. Banyak yang mengatakan jika kami memiliki chemistry yang baik.

“Kenapa tidak menikah saja,” kata seorang klien yang dijawab dengan senyum tertahan oleh kami berdua.

BACA JUGA: Bi Ima Bikin Aku Terkulai Lemas Namun Puas

Soal kecocokan, aku juga merasakannya. Doni dan aku sama-sama menyukai sunset. Kami sering menghabiskan waktu di pantai-pantai yang kami kunjungi untuk menikmati fenoena ajaib itu. Aku juga adalah tipikal yang mudah merajuk, sementara Doni paling tahu bagaimana cara menenangkanku. Menjadi aneh juga kenapa kami tidak ditakdirkan bersama.

Takdir baik mungkin tidak memihakku dalam hal cinta. Setelah Ben, aku menjalin kasih dengan beberapa pria lain. Semuanya kandas. Beberapa mrngaku tidak tahan melihat kedekatanku dengan Doni.

Lucunya, meski aku kerap gonta-ganti pacar, Doni masih betah sendiri. Seolah cinta  pada lawan jenis bukan bagian dari hidupnya. Aku begitu bingung hingga sempat mempertanyakan orientasinya.

“Don, lo bukan gay kan?” tanyaku sautu kali karena tidak tahan.

“Gila lo yah? Mau bukti?” katanya dengan marah yang dibuat-buat.

Namun ketika aku jalan dengan seorang pria bernama Andi, kumelihat kerling tidak suka dari Doni. Ia mulai bertingkah. Bahkan sering kali dia mengganggu jadwal kencan dengan memberikan beban pekerjaan yang banyak. Jika aku mengabaikan dia pasti sangat marah sejadi-jadinya. Tidak jarang juga dia menjemputku dan memintaku pulang dengan alasan pekerjaan.

“Bisa nggak kamu besikap professional dalam pekerjaan? Jangan cuma bisanya pacaran mulu? Nanti kalau kamu patah hati, siapa yang repot? Kamu pasti larinya ke aku,” tukasnya.

“Don, plis jangan kaitkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Pacaran itu masalah privasiku kamu nggak bisa melarangku seperti ini! Coba deh kamu cari pacar, jangan bisanya melarangku seperti ini!” aku menjawab dengan suara yang tak kalah tinggi.

“Terserah, jangan cari aku kalau kamu patah hati!” pungkasnya, kemudian berlalu pergi meninggalkanku.

Setelah tragedi itu, aku dan Doni tidak bertemu selama seminggu. Bahkan aku jadi tak ingin datang ke studio. Sempat terpikir untuk mundur untuk mundur saja dari kerja sama ini.

BACA JUGA: Sebuah Adegan...

Belakangan, aku mulai menganggap si Doni memiliki intuisi yang kuat. Pasalnya, tidak lama setelah pertengkaranku dengannya, aku mendapati kenyataan menyayat hati lainnya.  Andi selingkuh dengan wanita lain.

Malam itu, aku datang ke studio karena ingin menenangkan diri. Karena aku juga memegang kunci bangunan yang kmi sewa itu, jadi aku masuk saja, menyalakan salah satu lampu lalu tidir di sofa dengan mata yang sembab.

Di pagi hari,  aku terbangun sembari terbatuk-batuk dan mencium asap yang menusuk hidung. Aku melihat Doni tengah duduk membelakangiku sambil mengisap sebatang rokok.

“Doni…?” ucapku lirih.

“Patah hati lagi? Nggak ada yang dihubungi? Datang ke studio, sambil nangis dan ketiduran di sofa,” kata Doni

“Aku nggak bisa jauh dari kamu Don, maaf,” ujarku sambil memeluknya dari belakang.

“Aku juga tidak bisa jauh dari kamu, kamu mau nggak dampingi aku selamanya, jalan bareng, kerja bareng selamanya,” ucap Doni sambil berbalik badan dan memelukku.

Tanpa banyak kata aku pun mengiyakan permintaan Doni. Tanpa kusadari, sebuah kecupan mendarat di bibirku dengan lembut. Doni pun meraih tanganku dan memakaikan sebuah cincin ke jari manisku. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred Reporter: Mia Kamila

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co