Pantai Saksi Bisu Cinta Sejatiku

25 Juni 2020 18:51

GenPI.co - Tenang. Syahdu. Aku menghamparkan kain pantai di satu bidang pasir landai yang tak terlalu jauh dari lidah ombak terjauh yang mencium pasir pantai.

Menghirup udara pantai sejenak, aku membuat bantalan pasir di ujung hamparan kain pantaiku.

BACA JUGA: Kisah Cintaku Terbendung Oleh PSBB

Aku bisa berbaring sambil tetap memandang buih pantai yang riuh. Aku larut dalam suasana.

Dia menyikutku, melepas satu headset yang masih bercokol di telinga kananku.

“Kupikir kita ke sini untuk bersenang-senang, bulan madu kedua kita. Kau menangis?” tanyanya.

Aku terkejut. Sejak kapan orang ini duduk di sini? Apakah aku terlalu larut pada satu lagu cengeng dari Mahadewi yang ternyata kusetel dengan mode repeat one.

Buru-buru aku duduk, menghapus air mataku.

“Eh, nggak, kok. Sejak kapan kau di sini?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Kau menangis?” ulangnya.

Aku tak menjawabnya. Dia diam menungguku bicara.

“Emm, oke. Mungkin ini terlalu berlebihan dan mungkin musik ini sangat tidak sesuai dengan selera musikmu. Mau coba dengerin? Nggak usah peduliin musiknya kalau emang nggak suka. Cermatin aja liriknya,” kataku sambil memberikan kedua headset-ku.

Ragu, dia menerimanya dan memasang di telinganya. Aku tak pernah tahu mengapa kamu selalu ada di hidupku

Kita pun tidak punya satu ikatan cinta. Mengapa kita tak bisa menjadi sepasang kekasih hati selamanya?

Padahal kita kan saling mencintai satu sama lain. Dia mengangsurkan balik headset-ku.

“Eh, udah? Gimana menurutmu?” tanyaku, sedikit tersipu untuk menanyakan reaksinya dari sebuah lagu. Konyol.

“Kadang aku heran. Orang seserius kamu bisa suka dengan lagu picisan seperti itu,” katanya santai.

Dia melemparkan satu batu pipih ke deburan ombak yang sudah telanjur pecah, membuat pantulan tiga kali sebelum tenggelam.

“See? Benar aku tadi tak menanyakanmu soal itu!” kataku sambil mematikan pemutar musikku.

Aku berdiri, lebih memilih untuk berenang daripada melanjutkan obrolan ini.

Dia menarik tanganku, memintaku duduk kembali di sampingnya dengan pandangan mata  dan senyum yang selalu kupuja.

Ah, aku benci jika egoku sudah luluh lantak oleh senyum itu. Senyum yang dulu membuatku tak pernah berani memandanginya terlalu lama. Itu sebelum dia memintaku menjadi kekasihnya.

Aku duduk kembali di tempatku tadi, memandang laut.

“Kau belum merasa sepasang denganku?” tanyanya. Aku yakin dia pun tak memandangku.

“Bukan itu maksudku, Ri. Jangan pojokkan aku dengan pertanyaan konyol seperti itu,” aku mengubah posisi dudukku, sedikit menyamping ke arahnya yang masih bergeming memandang buih.

“Jika tidak, kenapa kau harus menangisi keadaan hanya karena satu lagu konyol seperti itu? Apa sebuah ikatan bagimu harus diucapkan dengan gegap gempita? Harus semua orang tahu? Padahal bukankah urusan cinta cukup kita saja yang merasakannya? Lebih banyak orang yang tak bisa mengerti rasa di antara kita, Ra”.

Aku hanya bisa tertunduk. Tak tahu harus berkata apa.

“Kau menginginkan sebuah status di pikiran orang-orang sekitar kita? Hanya jika memang itu membawa sesuatu yang positif untuk kita, aku bisa kalau kau memang menginginkannya, Ra”, cecarnya.

“Atau kau menitikberatkan pada kata selamanya dalam lagu itu? Kalau memang iya, kenapa tak kau katakan padaku?”, lanjutnya.

“Aku… aku…,”

Dia menggenggam tanganku, erat. Kuat.

“Aku tak bisa menjanjikan kata selamanya itu jika kau sendiri masih terjebak pada pikiran seperti ini. Jika saja kau berani memintanya, mungkin aku akan menyanggupinya. Karena aku sendiri sudah yakin, bahwa jika cinta itu memang nyata, maka itu adalah kamu adanya”, dia menatapku, dalam keseriusan yang dipenuhi binar cinta.

“Aku percaya, Ri. Aku percaya,” kataku sambil menghambur ke dalam pelukannya.

BACA JUGA: Oh Ternyata, Selama Ini Aku Pacaran dengan Kakak Kandungku

Dia memelukku, erat. Kesunyian pantai ini menjadi saksi bahwa cinta kami memang sejatinya hakiki. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng Reporter: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co