GenPI.co - Iran telah secara dramatis meningkatkan produksi uranium yang sangat diperkaya dalam beberapa bulan terakhir.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) PBB pada Selasa (7/9) mengatakan, peningkatan tersebut dibarengi dengan penolakan Iran bekerja sama dengan lembaga tersebut.
Dikatakan, Teheran telah melipatgandakan persediaan uranium yang diperkaya 60 persen sejak Mei, bertentangan dengan kesepakatan 2015.
IAEA juga mengatakan kepada negara-negara anggota dalam laporan triwulanan rahasianya bahwa kegiatan verifikasi dan pemantauannya telah "dirusak secara serius" sejak Februari oleh penolakan Iran untuk mengizinkan para pengawas mengakses peralatan pemantauan IAEA.
Badan tersebut memperkirakan bahwa stok uranium yang diperkaya hingga kemurnian fisil 60% pada 10 kilogram, meningkat 7,6 kilogram sejak Mei.
Sementara cadangan uranium yang diperkaya hingga kemurnian fisil 20% sekarang diperkirakan mencapai 84,3 kilogram, naik dari 62,8 kilogram tiga bulan sebelumnya.
“Total stok uranium Iran diperkirakan mencapai 2441,3 kilogram pada 30 Agustus, turun dari 3.241 kilogram pada 22 Mei,” lapor badan tersebut.
Teheran hanya diizinkan untuk menimbun 202,8 kilogram uranium di bawah kesepakatan nuklir yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan atau JCPOA.
Sebagai imbalannya, negara itu dijanjikan insentif ekonomi. Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah Teheran mengembangkan bom nuklir.
Badan yang berbasis di Wina itu memperingatkan anggotanya bahwa kepercayaannya dalam menilai dengan benar kegiatan Iran menurun dari waktu ke waktu.
Kondisi itu itu akan berlanjut kecuali situasinya segera diperbaiki oleh Iran.
IAEA mengatakan bahwa peralatan pemantauan dan pengawasan tertentu tidak dapat dibiarkan selama lebih dari tiga bulan tanpa diservis.
“Itu diberikan dengan akses bulan ini ke empat kamera pengintai yang dipasang di satu lokasi, tetapi salah satu kamera telah hancur dan yang kedua rusak parah,” kata badan tersebut.
Direktur Jenderal IAEA, Rafael Mariano Grossis, mengatakan bahwa dia bersedia melakukan perjalanan ke Iran untuk bertemu dengan pemerintah yang baru terpilih untuk melakukan pembicaraan.
Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2018 di bawah presiden AS saat itu Donald Trump.
Namun Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia telah berusaha mempertahankan kesepakatan itu.
Strategi Teheran dengan sengaja melanggar kesepakatan itu dipandang sebagai upaya untuk menekan, khususnya di Eropa, untuk memberinya insentif guna mengimbangi sanksi AS pascakeluar dari kesepakatan
Presiden AS Joe Biden telah mengatakan bahwa dia terbuka untuk bergabung kembali dengan pakta tersebut.
Namun putaran terakhir pembicaraan di Wina berakhir pada Juni tanpa hasil yang jelas.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News