Ironi, Kesaksian Petugas Medis Sebut Myanmar Bak Neraka Jahanam

03 Maret 2021 14:48

GenPI.co - Aye Nyein Thu baru saja menyelesaikan sekolah kedokteran di pusat kota Mandalay, Myanmar kurang dari setahun sebelum militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Februari 2021 lalu.

Dilansir Aljazeera, Rabu (3/3/2021), kini Nyein Thu yang berusia 25 tahun itu ikut memberikan bantuan medis darurat saat pasukan negara menindak protes massal.

BACA JUGA: Mendadak Viral, Pria Vietnam Bikin Kaget, Faktanya Mencengangkan

Dia menceritakan banyak hal perihal pasukan negara yang menindak protes massal secara brutal. Bahkan, mereka tak segan menembaki kepala para pedemo tersebut.

“Sebagian besar korban mengalami luka di kepala karena polisi menggunakan tongkat untuk memukuli pengunjuk rasa, dan beberapa orang juga ditembak," kata Aye Nyein Thu dalam pernyataannya.

Dia juga memperkirakan telah menanggapi 10 pasien saat kasus darurat berlangsung. Dirinya juga menganggap kondisi Myanmar ibarat di neraka yang sangat mengerikan.

Sejak militer menangkap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan lebih dari 40 pejabat terpilih dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun, jutaan orang telah turun ke jalan di seluruh negeri, sementara sekitar tiga perempat pekerja pemerintah diperkirakan telah pergi.
 
Dengan demonstrasi yang menunjukkan sedikit tanda mereda, pihak berwenang semakin beralih ke kekerasan.

Mereka telah menembakkan peluru tajam dan peluru karet, mengerahkan meriam air dan menggunakan gas air mata serta granat kejut ke arah kerumunan.

Tindakan keras sejauh ini telah menewaskan sekitar 30 orang dan melukai sedikitnya 200 lainnya, demikian menurut laporan Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok pemantau.

Gerakan Pembangkangan Sipil telah menghambat sistem kesehatan formal di seluruh negeri, seorang pejabat dari Rumah Sakit Umum Yangon mengatakan kepada Radio Free Asia pada 9 Februari bahwa sebanyak 80 persen rumah sakit pemerintah telah ditutup.

Untuk memenuhi kebutuhan medis publik, penyedia layanan kesehatan sekarang menawarkan layanan secara sukarela di luar fasilitas pemerintah, tetapi tindakan keras yang semakin meningkat berarti banyak petugas layanan kesehatan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk memberikan perawatan yang menyelamatkan jiwa mereka yang bergabung dalam protes.

“Tantangan terbesar bukanlah tertembak saat kami membantu di lapangan. Peluru juga bisa mengenai kita, kita juga bisa mati kapan saja,” kata Ze Nan seorang perawat sukarelawan di ibu kota Negara Bagian Kachin, Myitkyina.

Di Mandalay, yang telah menyaksikan beberapa kekerasan terburuk sejak kudeta, Aye Nyein Thu adalah bagian dari tim yang terdiri dari sekitar 30 sukarelawan profesional perawatan kesehatan yang memberikan tanggap darurat di seluruh kota.

Dia telah berjalan di antara para demonstran dengan tas punggung berisi beberapa persediaan dasar untuk menghentikan pendarahan dan mensterilkan luka.

Sejauh ini, dia telah menawarkan pertolongan pertama darurat, kepada sekitar 10 orang dan mengatur layanan ambulans relawan untuk mengangkut korban ke sebuah klinik, yang juga dijalankan oleh relawan, untuk perawatan lebih lanjut.

Namun demikian, dia memastikan akan berencana untuk terus memberikan layanan medis dalam keadaan apapun.

“Kami merasa tidak aman saat merawat pasien. Kami khawatir tentang kapan pihak berwenang mungkin mengancam kami atau senjata dapat diarahkan ke kami,” imbuh dia.

BACA JUGA: Kapal Perusak Amerika Tiba di Sudan, Langsung Tembak Rusia

Menurutnya, pertarungan belum berakhir. Protes akan terus berlanjut dan dia beserta tenaga medis lainnya akan selalu mendukung para pengunjuk rasa dengan pengetahuan medis yang dimiliki.

“Saya belum pernah melihat kesatuan seperti ini sebelumnya. Dengan persatuan ini, kami pasti akan menang," tutur dia.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co