GenPI.co - Tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut mirip zaman Orba. Dasar hukumnya pun disebut tak ada.
Itu diungkap Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti. TWK dianggap makin aneh lantaran hasilnya tak pernah dibuka ke publik.
BACA JUGA: Titah Jenderal TNI Tegas, Pasukan Setan Hancurkan OPM!
Itu membuat masyarakat tidak bisa menilai seperti apa indikator dari rapor merah yang menyebabkan 51 pegawai KPK tak bisa bergabung kembali.
"Dalam dialog di KompasTV, Gufron bahkan bilang pihaknya belum pernah baca hasil detail dari BKN," ujarnya kepada wartawan, Kamis (27/5).
Bivitri menyarankan agar hasil TWK dibuka ke publik, terutama terkait pertimbangan kenapa 51 pegawai KPK itu dianggap memiliki "rapor merah" sampai tak bisa dibina lagi.
Pasalnya, Bivitri menilai bahwa rekam jejak 51 pegawai KPK tersebut tidak parah hingga layak diberi "rapor merah".
"Melihat rekam jejak mereka, rasanya tak mungkin mereka sampai separah 'tidak bisa dibina lagi'," ungkapnya.
Namun, jika memang kenyataan yang ada ternyata sebaliknya, maka buka hasil dan proses penilaian TWK tersebut ke publik.
"Buka dulu hasilnya, apa justifikasinya, dan bagaimana penilaian itu dilakukan," ujarnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu memaparkan bahwa TWK bisa menjadi suatu model saringan untuk orang-orang yang menurut dengan pemerintah.
BACA JUGA: Kesimpulan ICW Bikin KPK Tersudut, Presiden Jokowi Wajib Baca!
Model saringan serupa pernah ada pada zaman Orde Baru, yaitu penelitian khusus (litsus).
Bivitri kemudian mendorong publik untuk mempertanyakan TWK agar tak digunakan lembaga negara lain.
"TWK memang ada dalam sistem kita, tapi menurut saya, TWK terhadap KPK ini disalahgunakan untuk 'menyaring' orang," paparnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News