GenPI.co - Pengamat politik Chusnul Mariyah menyoroti soal rusaknya demokrasi dari berbagai perspektif. Mulai dari norma moral, nalar ilmiah, nalar etis, dan etika publik.
Chusnul Mariyah juga mengutip kata-kata dari Lord Acron yang biasanya sudah menjadi kredo penting di dalam pembicaraan tentang politik.
Kata-kata tersebut yakni, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
"Nah, kalau kita bicara tentang demokrasi, sebetulnya demokrasi itu bukan mempertahankan kekuasaan," jelas Chusnul Mariyah dalam live streaming YouTube Refly Harun, Selasa (22/6).
Chusnul Mariyah juga mengatakan bahwa pemilu yang demokratis adalah bagaimana orang-orang atau politisi buruk dilempar dari lembaga demokrasi lalu memasukan aktor baik untuk berkuasa.
"Jadi, kadang-kadang kita terfokus bahwa demokrasi pemilih yang demokratis dan mempertahankan kekuasaan," ungkapnya.
"Justru (seharusnya), bagaimana caranya melalui suksesi yang periodik kemudian kita mengeluarkan orang-orang buruk tersebut," sambungnya.
Chusnul Mariyah juga mengatakan bahwa korupsi telah merajalela di Indonesia dan suara-suara pemilu diatur bandar korporasi.
"Kekuatan korporasi menentukan demokrasi di Indonesia. Kenapa? Karena kita ini nyontek modelnya Amerika Serikat," tuturnya.
Menurutnya, Amerika memang mengimplementasikan yang dinamakan demokrasi liberal. Oleh sebab itu, pemilu dengan nilai populasi tidak memberi garansi orang baik dan memiliki kapasitas bisa menang.
"Apalagi kalau bergantung pada bandar. Kalau di Amerika kita bisa lihat korporasi yang memegang pemilu," jelasnya.
Chusnul Mariyah juga mengatakan bahwa kelompok Yahudi di Amerika yang bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) adalah penentu siapa yang boleh menang baik di kongres maupun senat.
Kemudian, menurutnya, model inilah yang diimpor dari Amerika dan diimplementasikan di tanah air.
"Oleh sebab itu, sejak awal saya mengatakan jangan menggunakan pasal kontribusi terbatas. Karena itu model liberal," ungkap Chusnul Mariyah.
"Kontribusi terbatas akhirnya yang berkontribusi siapa? Korporasi yang pegang uang," lanjutnya.
Tidak hanya itu, Chusnul Mariyah juga menilai partai politik di Indonesia tersandera dengan korporasi.
Menurut Chusnul Mariyah, aturan hukum juga membuat partai politik tersandera oleh korporasi.
Dirinya juga membeberkan bahwa partai politik boleh ikut pemilu jika memiliki 100 persen kantor di provinsi, 75 persen di kabupaten kota, dan 50 persen di kecamatan.
"Lalu siapa yang membiayai kantor-kantor partai politik itu? Oleh sebab itu ada bandar dan korporasi masuk," ujar Chusnul Mariyah.
"Kenapa hanya selalu ada dua atau tiga pasang calon presiden? Ini, kan, juga memudahkan para bandar agar tidak perlu membayar banyak," tandasnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News