Suara Lantang MS Kaban Mencengangkan: Adili Presiden...

21 Juli 2021 08:40

GenPI.co - Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban blak-blakan meminta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI agar segera melakukan Sidang Istimewa untuk mengadili Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Suara lantang MS Kaban ini diungkapkan di akun Twitter @MSKaban3, Senin (19/7), Politikus Partai Ummat ini menilai pemerintah telah gagal menangani pandemi covid-19.

Pasalnya, menurut pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) ini, terbukti dari perbedaan pendapat antara menteri dan Presiden Jokowi.

BACA JUGA:  Air Rebusan Cengkih Ternyata Sangat Mujarab, Khasiatnya Cespleng

"Presiden pun tak tahu kapan Pandemic akan teratasi. Terkendali kata LBP, belum terkendali kata Presiden. Presiden dan opung LBP berbeda lihat situasi," jelas MS Kaban dikutip GenPI.co, Selasa (20/7).

Oleh sebab itu, MS Kaban meminta MPR RI agar segera melakukan Sidang Istimewa untuk mengadili Presiden Jokowi.

BACA JUGA:  Jika Kehilangan Indra Penciuman, Geprek Bawang Putih...

"Kalau begitu apa bisa rakyat berharap hanya dengan permohonan maaf. PPKM jika gagal adalah kegagalan Presiden. MPR RI perlu SI, adili Presiden," ungkapnya.

Bahkan, MS Kaban juga mendesak pimpinan partai politik ikut bertanggungjawab atas kondisi saat ini.

BACA JUGA:  Pakar Hukum: Sebenarnya Kelas Jokowi Itu Adalah Wali Kota...

"Jika ketua-ketua parpol merasa bertanggung jawab terhadap NKRI amanat pasal 3 UUD 45. MPR RI berfungsilah," tegasnya.

Merespons pernyataan MS Kaban, Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menilai ada celah sebetulnya untuk mengadili Presiden Jokowi.

"Jadi MPR dan Presiden itu lembaga sederajat tidak boleh lagi ada atas bawah. Berlaku check and balanches, adalah perumusan pasal 7A, pasal 7B tentang impeachment, tentang pemberhentian presiden," kata Refly Harun dalam channel YouTube-nya, Selasa (20/7).

Jadi, kata Refly Harun, kalau presiden mau diberhentikan maka aktifkan klausul pasal 7A UUD 1945, bahwa presiden itu tidak lagi memenuhi syarat.

"Misalnya tidak lagi mampu secara jasmani maupun rohani untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Atau dia melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan tecela," jelas Refly Harun.

Maka dari itu, kata Refly Harun, harus ada mekanisme konstitusionalnya untuk mengadili presiden.

"Yaitu di forum DPR pertamakali sebagai forum politik dari DPR lari ke mahkamah konstitusi selama 90 hari, kembali kepada DPR, baru bisa dilakukan sidang MPR untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden," ungkap Refly Harun.

Namun, kata Refly Harun, proses politik tersebut dinamakan bukan Sidang Istimewa sebagaimana yang diminta MS Kaban.

"Ya, sidang pemberhentian saja, sidang pemberhentian presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur oleh konstitusi," beber Refly Harun.

Jadi, paradigmanya agak berbeda atau tidak sama dengan yang diinginkan MS Kaban. Sebab, kata Refly Harun tidak bisa langsung ke MPR, tapi harus melalui wakil-wakil rakyat.

Menurutnya, meski wakil rakyatnya, baik MPR dan DPR mayoritas pendukung pemerintah ditambah anggota DPD jumlahnya terbatas, sehingga kecil peluangnya jika untuk mengadili Presiden Jokowi melalu sidang MPR.

"Anggota DPD 136, sementara anggota MPR sendiri total 575, dari 575 itu yang tidak menjadi pendukung pemerintah kan hanyalah Partai Demokrat dengan 54 kursi, PKS dengan 50 kursi, brarti 104 kursi dan PAN dengan 44 kursi, berarti cuma 148 kursi," kata Refly Harun.

Sehingga kalau untuk menggelar sidang istimewa untuk mengadili Presiden Jokowi melalui proses politik di DPR/MPR jika hitung-hitungan kursi sangat tidak mungkin.

Termasuk juga misalnya DPR mengeluarkan jurus yang namanya hak angket untuk penyelidikan atas dugaan, bahwa presiden dan wakil presiden atau instistusi di bawahnya telah melakukan pelanggaran hukum.

"Jadi (pelanggaran undang-undang itu) bisa menjadi celah (sidang MPR untuk mengadili presiden Jokowi), kalau mau dipersoalkan, karena secara sengaja presiden melakukan pelanggaran undang-undang dalam hal penanggulangan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional," papar Refly Harun.

Namun, Refly Harun menegaskan, prosesnya tidak bisa melompat langsung sidang MPR, sebab paradigma bangsa Indonesia sudah berubah.

"Kalau dulu iya (bisa melompat langsung sidang istimewa MPR untuk mengadili Presiden). Kalau presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara, maka DPR akan memberikan peringatan, jika tidak digubris dalam jangka waktu 2 bulan, akan diberikan peringatan kedua dalam jangka waktu 1 bulan, kemudian tidak juga digubris akan ada sidang istimewa," pungksnya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Tommy Ardyan

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co