GenPI.co - Analisis akademisi ini bisa bikin kaget. Keterwakilan perempuan di politik Indonesia disebut didominasi kepentingan partai.
Akademisi politik Sri Budi Eko Wardiani buka-bukaan soal ini. Dia mengatakan, kebijakan afirmatif dalam dunia politik Indonesia masih didominasi oleh kepentingan partai.
Menurut Sri, kebijakan afirmatif kerap digunakan untuk kepentingan partai politik dalam meraih suara elektoral.
“Kebijakan afirmatif belum sepenuhnya digunakan untuk penguatan kesetaraan gender,” katanya dalam webinar “Peluang dan Tantangan Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu Menuju Pemilu 2024”, Minggu (10/10).
Sri memaparkan bahwa tindakan diskriminatif kepada perempuan di dunia politik cenderung meningkat. Hal tersebut tercatat oleh data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan.
“Komnas Perempuan menyatakan bahwa di beberapa daerah masih terdapat tindakan diskriminatif kepada perempuan,” paparnya.
Pengajar FISIP UI itu menilai bahwa kondisi kesetaraan gender lebih berat dicapai di tingkat lembaga penyelenggaraan pemilu.
Pasalnya, keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen hanya berbentuk imbauan, bukan kewajiban.
“Baik dari sisi pencalonan, maupun dari sisi keterpilihannya,” ungkapnya.
Sri menuturkan bahwa di level partai politik, kuota keterwakilan perempuan sudah diatur dalam pencalonan legislatif.
Oleh karena itu, partai politik wajib mencalonkan perempuan minimal 30 persen dari jumlah keseluruhan daftar calon.
“Namun, di level penyelenggara pemilu, kuota tersebut tak dijamin karena menganut kompetisi bebas. Rata-rata jumlah perempuan sebagai anggota KPU dan Bawaslu masih kurang dari 20 persen,” tuturnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News