GenPI.co - Akademisi politik Philipus Ngorang mengatakan bahwa ada masalah kepemimpinan di tubuh partai politik yang terlalu menghormati seorang tokoh sebagai patron.
Hal tersebut disampaikannya untuk menanggapi polemik banteng vs celeng di tubuh PDIP.
“Sosok Megawati adalah patron yang harus dihormati. Suaranya sangat menentukan siapa capres yang ingin diusung PDIP,” ujarnya kepada GenPI.co, Senin (18/10).
Ngorang mengatakan bahwa kelompok banteng tidak mau melangkahi apa yang dikehendaki oleh Megawati sebagai patron utama.
“Megawati bisa dikatakan sebagai patron, karena dia mempunyai wewenang yang tinggi untuk menentukan siapa yang akan menjadi capres,” katanya.
Pengajar di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie itu menilai bahwa kader PDIP melihat perkataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai sebuah kebenaran.
Hal itu juga yang membuat kelompok banteng tidak mengundang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam kegiatan kunjungan Ketua DPR Puan Maharani ke Semarang beberapa waktu lalu.
“Pak Ganjar enggak diundang agar Puan dan Mega tidak tersinggung, karena kelompok banteng masih mendukung Puan sebagai capres 2024,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ngorang menilai pendukung Ganjar disebut Bambang Pacul sebagai celeng karena sudah melangkahi kebijakan partai.
“Selama ini, PDIP keukeuh bahwa suara Mega-lah yang bisa menentukan siapa capres yang diusung PDIP,” tuturnya.
Namun, Ngorang menyayangkan penggunaan kata celeng untuk kelompok pendukung Ganjar. Pasalnya, pemilihan kata “celeng” dinilai terlalu mengecilkan.
“Itulah bahasa politik yang suka seenaknya disebut begitu,” katanya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News