Soroti Pelanggaran HAM Berat, SETARA Sebut Jokowi Lemah

22 Agustus 2022 18:40

GenPI.co - Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD dan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengkelaim bahwa Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu adalah terobosan pemerintah.

Hendardi, Ketua SETARA Institute menjelaskan tertundanya proses pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan proses penyelidikan dan penyidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang tidak ada titik temu.

Klaim ini adalah cara negara memanipulasi jalan keadilan bagi korban yang sama sekali tidak akan melimpahkan keadilan dan menyajikan pembelajaran berharga bagi bangsa atas pelanggaran HAM berat masa lalu.

BACA JUGA:  13 Kasus Pelanggaran HAM Berat Akan Dituntaskan, Termasuk Trisakti

“Argumen KKR yang belum dibahas, bisa dibantah, mengapa baru berpikir menyelesaiakan pelanggaran HAM di sisa masa jabatan? Padahal sejak awal menjabat, bahkan sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, baik melalui Wantimpres RI maupun melalui Menkopolhukam,” jelas Hendardi dalam keterangan resminya, Senin (22/8).

Berkali-kali elemen korban, termasuk kelompok masyarakat sipil dimintai pendapat.

BACA JUGA:  Kecam Pemaksaan Jilbab, SETARA Keluarkan 5 Ultimatum Keras

Namun, nyatanya harapan itu diabaikan dengan membentuk Keppres yang lebih menyerupai Panitia Santunan bagi korban lalu kemudian dianggap telah menyelesaikan tuntutan keadilan penanganan pelanggaran HAM masa lalu.

Presiden Jokowi tidak menangkap pesan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007, tertanggal 21 Februari 2008, yang pada intinya penentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukanlah domain DPR.

BACA JUGA:  Ferdy Sambo jadi Tersangka, SETARA: Kapolri Lulus Ujian Berat

Tetapi kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, yang tanpa menunggu keputusan DPR, Kejaksaan Agung memulai suatu proses penyidikan. Tugas DPR kemudian hanyalah merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM kepada Presiden RI.

Dengan demikian, jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan, kalau Jokowi bisa mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM. Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR.

Pembentukan UU KKR, semestinya pula bisa diakselerasi, jika Jokowi mampu mendisiplinkan jajaran pemerintahannya plus partai-partai pendukungnya.

“Merevisi UU Minerba, UU KPK, bahkan membahas UU Cipta Kerja, Jokowi dan jajarannya bisa melakukan dengan begitu cepat. Mengapa untuk KKR Jokowi terus menunda?,” imbuhnya.

Hendari menambahkan klaim bahwa jalan yudisial masih bisa dijalankan secara paralel adalah kosmetik politik yang ditujukan untuk melemahkan penentangan atas ide Keppres ini.

Judul Keppres saja penyelesaian non-yudisial, maka peristiwa pelanggaran HAM berat itu dianggap sudah selesai.

“Seharusnya, pilihan yudisial atau non yudisial ini adalah produk akhir setelah sebuah komisi yang mengungkap kebenaran pelanggaran HAM berat selesai bekerja," imbuhnya.

"Bukan sejak awal ditetapkan jalur non yudisial, karena itu artinya menegasikan jalan keadilan yang lebih obyektif, yakni jalur yudisial," tutup Hendardi.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co