GenPI.co - Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Refarandum menganggap demokrasi Indonesia sudah mati bersamaan dengan disahkannya RKUHP pada Selasa (6/12).
Citra menerangkan pasal-pasal dalam RKUHP sebenarnya banyak yang bermasalah dan dianggap akan mengancam kehidupan masyarakat.
Dia menyoroti salah satunya soal kasus salah tangkap ketika melakukan demonstrasi.
Citra mengatakan hal tersebut tentu akan mengancam kebebasan berpendapat.
"Mereka merasa ruang hidupnya dicabut. Artinya, mereka ada yang disiksa dan digusur menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah, tentu harusnya sah," ucap dia di depan gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (6/12).
Citra mengkhawatirkan hal lebih parah akan terjadi ke depannya bagi mereka yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum.
Dia mengatakan bisa saja kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara akan dianggap sebagai penghinaan.
"Sebab, dalam rumusan pasal RKUHP, penjelasannya bersifat konstruktif, dasarnya atau indikatornya konstruktif atau destruktif. Siapa yang akan menempatkan itu? Tentu aparat penegak hukum dan tergantung dari moralitas presiden, wakil presiden, dan pemerintah," tuturnya.
Menurut Citra, soal penghinaan atau kritik itu sulit membedakan karena berbeda perspektif terkait penyampaian pendapat tersebut.
"Jadi, kenapa etika malah berujung penjara Demokrasi Indonesia bukan lagi berubah, melainkan sudah mati. Sebab, prosedur dan substansi pasalnya tidak demokratis," kata dia.
Dalam naskah RKUHP terbaru 30 November 2022, pasal 128 menerangkan terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Adapun dalam pasal 218 ayat (1) RKUHP disebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News