Nafas Islam di Sisa Gejolak Kramat Tunggak

20 Mei 2019 15:02

GenPI.co - Menyusur ke utara Jakarta, wilayah yang dikenal keras dan berbahaya. Berbagai literatur menyebutkan, wilayah ini rawan 'dosa' dengan tindak pelanggaran hukum sangat tinggi. Termasuk prostitusi.

Era 70'an. Siapa yang tak kenal Kramat Tunggak? Berada di kawasan Tugu Utara, Kramat Tunggak sempat dilabeli pusat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara, jauh sebelum Dolly di Surabaya.

Ribuan pekerja seks komersial (PSK) tumpah ruah di atas lahan yang luasnya diperkirakan 11 hektar. Bangunan permanen, rumah penduduk, membaur jadi satu. Roda perekonomian pun sangat hidup dan menghidupi rakyat banyak. Bahkan mencari uang Rp 50 ribu sehari bisa sambil terpejam, saking gampangnya duit didapat. Namun kini lokalisasi Kramat Tunggak hanya tinggal nama ketika Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, menutupnya, 31 Desember 1999.

Baca juga :

Kini lokasi tersebut mulai menyulap diri, berusaha kembali ke jalan yang lurus. Sebuah masjid gagah menjulang untuk menghapus imej 'dosa' yang sudah ditanam dalam di atas lahan Kramat Tunggak. Masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) mentereng sebagai pusat pengembangan dan pengkajian agama Islam yang berlokasi di tanah resosialisasi dan lokalisasi prostitusi Itu. 

Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Sub Divisi Pengkajian JIC, Paimun Karim. “Ya ini awalnya merupakan lokasi resosialisasi. Pak Ali Sadikin mengumpulkan PSK atau Wanita Tuna Susila di tempat ini, harapanya agar mereka dibina,” kata Paimun kepada Genpi.co (13/5).

Lokalisasi Kramat Tunggak awalnya bermula dari Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Tempat tersebut dibangun untuk membina pekerja seks di Jakarta agar dapat kembali melakukan pekerjaan yang lebih diterima oleh masyarakat. Meski demikian, lama-kelamaan Kramat Tunggak justru menjadi lokalisasi prostitusi, dan gak main-main predikatnya, terbesar se-Asia Tenggara.

Perjuangan Menghanguskan Maksiat

Menurut Paimun, predikat itu didapat lantaran dua alasan. Pertama, karena luas wilayahnya yang sangat besar dan mewadahi ribuan PSK. Alasan kedua, adalah yang sudah disebut di atas tadi, besarnya perputaran ekonomi. “Memang disini paling besar dibanding tempat lain. Luasnya saja 11 hektar, dengan lebih dari 2000 PSK, germonya juga sekitar 300an. Belum termasuk jokinya, preman, tukang cucinya. Perputaran uangnya besar sekali,” jelas Paimun.

Maraknya kegiatan prostitusi dan konsumsi minuman keras membuat lokalisasi Kramat Tunggak menjadi tempat yang rawan tindakan kriminal, seperti perkelahian dan pembunuhan. Hal tersebut membuat masyarakat resah, dan menuntut pemerintah untuk menutup lokasisasi Kramat Tunggak. "Nah, karena banyaknya kegiatan maksiat, masyarakat menjadi resah dan meminta Gubernur untuk menutup lokasisasi ini. Bagaimana tidak, banyak orang mabuk, bunuh-bunuhan dan berkelahi di tempat ini,” terang Paimun.

Lokalisasi Kramat Tunggak akhirnya resmi ditutup pada awal milenium dan pada 2001 pembangunan Jakarta Islamic Centre dimulai hingga selesai 2002. Ide untuk membuat masjid dan pusat kajian Islam sendiri berasal dari Gubernur Sutiyoso. "Tahun 2001 itu Pak Sutiyoso umrah dan saat itu dia menemukan ide untuk membangun Islamic Center. Jadi ini gagasannya riil dari pak Sutiyoso," kata Paimun lagi.

Sebelum pemerintah benar-benar menutup lokalisasi Kramat Tunggak, para pekerja yang mencari nafkah di tempat tersebut diberikan pelatihan dan modal sebagai bentuk ganti rugi dari pemerintah. Hal itulah yang menyebabkan perlawanan dari para pekerja di kawasan lokalisasi bisa diredam. “Karena pemerintah memberikan lingkungan baru, pekerjaan baru, opsi baru. Jadi mereka juga tidak (banyak) melakukan perlawanan,” imbuhnya.

Sejak 2005, Jakarta Islamic Centre beroperasi secara penuh. Pemerintah juga menambahkan dua gedung, yaitu pusat sosial dan pendidikan serta pusat bisnis, yang berada di sisi kanan dan kiri Masjid JIC. Masjid ini memiliki 49 karyawan, yang digaji oleh Pemda DKI Jakarta. Secara rutin, pihak JIC menyelenggarakan berbagai kegiatan mulai dari pendidikan, sosial dan ekonomi untuk meningkatkan pengetahuan dan kualitas masyarakat di sekitarnya.

Paimun berharap, kedepannya JIC bisa terus menjalankan perannya sebagai pusat pengembangan dan pengkajian Islam dan membentuk peradaban Islam yang baik untuk masyarakat. "Ya secara fisik, pembangunan JIC memang sudah selesai. Tapi tugas selanjutnya adalah bagaimana mensyiarkan kebaikan dan agama. Harapannya kita dapat melahirkan generasi baru yang lebih baik,' pungkasnya.

Rela Hilang Pekerjaan dan Duit Haram

Sementara itu, masyarakat sekitar juga menyambut baik keberadaan JIC sebagai pusat kajian Islam dan pusat ibadah. Seperti Ahmad Talis, warga yang tinggal di sekitar JIC sejak 1986. Menurut Talis, sejak JIC berdiri, lingkungannya menjadi lebih aman dan warga tidak takut untuk beraktivitas pada malam hari. "Ya beda, dulu kalau malam hari warga takut keluar. Banyak preman yang mabuk di pinggir jalan, jadi rawan kejahatan. Kalau sekarang sudah tidak ada," kata Talis kepada Genpi.co.

Istri dari Talis sendiri sebelumnya sempat mencari nafkah di lokalisasi Kramat Tunggak sebagai buruh cuci. Meskipun kehilangan mata pencahariannya sejak Kramat Tunggak ditutup, namun Talis setuju jika lahan bekas lokalisasi tersebut dibangun masjid. "Ya setuju, karena untuk tempat beribadah kan. Semua warga disini menyambut baik dan setuju kalau tempat itu dibangun menjadi masjid," katanya lagi.


Tonton lagi :

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co