Menggapai Puncak Merapi, Sembari Larut dalam Kemegahannya

03 Oktober 2019 09:42

GenPI.co - Impian setiap pendaki adalah menggapai puncak-puncak gunung di seluruh Indonesia yang masuk dalam Ring of Fire alias kawasan jalur cincin api. Salah satunya adalah Puncak Merapi yang berada di perbatasan Magelang-Boyolali Jawa Tengah.

Pesona Merapi memang selalu membuat para pendaki terpesona. Dari keindahan alam dan daya tarik hutannya, hingga kejutan yang setiap waktu datang dari mulut gunung ini. Indah sekaligus menakutkan. 

Tahun 2006 silam, gunung ini memuntahkan10 juta meter kubik dengan jarak luncur awan panas mencapai 7 kilometer. Warga sekitar Gunung Merapi merasakan ganasnya awan panas yang mereka sebut wedhus gembel itu. 

Baca juga: Jaladara, 'Jiwa' Kolonial di Zaman Milenial

Sedangkan pada erupsi tahun 2010, kawah puncak Gunung Merapi memuntahkan material abu vulkanik mencapai 130 juta meter kubik,  Jarak luncur awan panas tak main-main, mencapai 15 kilometer menurut data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY.

Bahkan jiwa  juru kunci Gunung Merapi turut tertelan dalam amukan wedhus gembel kala itu. Ia, siapa lagi kalau bukan Raden Ngabehi Hargo atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan.

Tiga tahun sebelum Merapi mengambil jiwa Mbah Maridjan, aku pernah menggapai puncaknya. Berada di pucuk Pulau Jawa, di ketinggian 2.930 mdpl memberikan rasa tersendiri. Sebuah perasaan yang kerap dialami setiap pendaki.Bagai berada di puncak dan kehidupan dengan segala hiruk-pikiknya berada di kaki kita. 

Kala itu, ada tiga jalur resmi untuk melakukan pendakian gunung tersebut. Pendaki bisa melalui  jalur Selo perbatasan Magelang-Boyolali, jalur Babadan dan jalur Kineharjo. 

Namun sejak erupsi 2010,  baik jalur Babadan dan Kineharjo sudah tak dimanfaatkan lagi. Di  Babadan hanya ada Pos Pemantauan saja. Sementara jalur Kineharjo memiliki trek  yang sangat ekstrem sehingga sulit untuk dilalui. Kini,  jalur Selo adalah satu-satunya jalan untuk menggapai puncak Merapi. 

Baca juga: Mencari Jejak Putri Mandalika

Dalam pendakianku kala itu, jalur Selo kupilih sebab jamak digunakan. Namun saat mencapai poin awal jalur itu, aku tak melewati rute umum. Jalan perkampungan menjadi pilihanku lantaran menyuguhkan panorama alam yang lebih bervariasi dan indah. 

Dan saat itu pula saya memilih jalur Selo yang umumnya para penjelajah gunung ini melalui jalur ini.

Menggunakan motor trail yang dipinjam dari rekan-rekan saya di Jogja, aku bersama dua teman saya menerabas melalui setapak desa hingga mencapai Muntilan yang penduduknya sangat ramah kepada pendatang yang melintas.


Puncak Merapi. (Foto: Winento/GenPI.co)

Dalam perjalanan tersebut kami melintasi Candi Ngawen yang masuk di wilayah Kecamatan Muntilan. Kemudian lanjut terus hingga tiba di Magelang dan tiba di sebuah gardu pandang. 

Sambil istirahat, kami menaiki gardu pandang itu yang berbentuk semacam panggung yang cukup luas itu. Beruntung cuaca sedang cerah sehingga aku dan kedua temanku bisa menikmati hamparan perkebunan dan sawah penduduk dari ketinggian tersebut.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Sesekali motor kami haru menyebrangi sungai yang airnya bening sekali. Kami pun berhenti sejenak untuk merasakan sejuknya air itu. 

Sekitar pukul 14:00 WIB, kami melanjutkan perjalanan saya menuju ke Pos Selo yang berada di perbatasan Magelang-Boyolali. Kami melaju dengan santai, sebab tak ingin melewatkan suasana pedesaan yang begitu damai. Sesekali bersua penduduk yang melemparkan senyum ke arah kami. 

Aku dan kedua temanku tiba di pos pendakian Barameru Selo Merapi pukul sekitar 17.00 WIB. Kami melakukan registrasi di pos itu dan membayar Rp5 ribu per orang. Tak lupa sebelum mendaki, kami kembali memeriksa peralatan kami yang sudah disiapkan sejak masih di Jogja. Kami kembali  menyusun barang-barang yang dibutuhkan sesuai perjalanan penjelajahan mendaki Gunung itu.

Biasanya para pendaki memilih mendaki gunung pada malam hari. Hal itu untuk menghindari panas terik yang berpotensi bikin tubuh cepat lelah. Begitu juga dengan kami. Sebuah warung yang berada di kawasan itu kami pilih sebagai tempat bersantai selama kurang lebih 3 jam. Kami berencana mulai mendaki pukul 20.00 WIB. Waktu beberapa jam yang tersisa kamai manfaatkan untuk memulihkan tubuh yang lelah setelah perjalanan menggunakan motor dari Jogja.

Baca juga: Nostalgia dalam Dekap Sejuk Udara Batu

Di warung itu, ada beberapa warga setempat. Interaksi yang harmonis pun tercipta. Warga yang sumringah menyambut dan mereka tak sungkan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami. Obrolan terasa hangat sembari menyeruput kopi kudapan tradisional apem.

Ketika tiba waktu yang ditentukan, ak dan temanku mulai berjalan menuju puncak, menapaki tanjakan sembari bernyanyi riang. Tak ada satupun dari kami yang pandai mengolah suara. Namun kami tetap pede dengan suara sumbang kami. Akibatnya, lebih banyak tawa dibanding nyanyian. Perjalanan pun terasa menyenangkan lantaran diiringi senda gurau. 

Meski sambil bercanda, kami pun harus tetap konsentrasi dengan jalanan. Sebab, jalan yang menanjak dan penerangan yang minim adalah kombinasi berbahaya bagi mereka yang tidak siap. Salah sedikit bisa terantuk, lalu jatuh terjerembab mencium tanah.  


Mencapai Puncak Garuda. (Foto: Winento/GenPI.co)

Dalam perencanaan kami, tepat pukul 23:00 di mana pun kami berada, harus berhenti dan mendirikan flysheet untuk tidur. Kebetulan pada waktu tersebut kami  telah mencapai sebuah spot bernama Watu Gajah. Kami bertiga sepakat untuk beristirahat hingga pagi hari.

Flysheet pun berdiri tegak dan aman untuk ditinggali. Sebelum tidur kami menyempatkan untuk memasak dengan perbekalan logistik yang kami bawa. Dengan alat masak Trangia, kami menanak nasi dan goreng telur di sini. Semua aktivitas itu kelar pukul 00:10 WIB.  Kami lalu tmenelinap di bawah kantung tidur masing-masing di bawah flysheet yang membentang tegak.

Perjalanan kami lanjutkan pukul 07.00 WIB. Spot Watu Gajah tempat kami beristirahat selama beberapa jam sebelumnya  berlokasi sebelum Pasar Bubrah. Sementara tempat bernama Pasar Bubrah adalah sebuah dataran cukup luas itu berada tepat di bawah puncak Merapi. 

Pada beberapa bagian di dataran bebatuan itu tumbuh pula tanaman Edelweis. Namun sebagaimana aturan tak tertulis di kalangan para pendaki, haram hukumnya untuk memetik bunga-bunga hutan tersebut. Sebab mereka lebih indah saat tetap menempel pada pokoknya ketimbang dicerabut untuk dibawa pergi. 

Baca juga: Ranoh Island, Mewah dan Bikin Betah

Kami tiba di Pasar Bubrah sekitar pukul 11.00 WIB. Di situ juga terdapat beberapa kelompok pendaki yang sedang berleha-leha menikmati kedamaian yang tersaji di tempat itu.

Namun kami tak ingin berhenti di situ, tujuan kami adalah Tugu Puncak Garuda yang berada di titik paling ujung dari gunung itu. Padahal, tugu itu sudah hilang ditelan ganasnya erupsi pada 2006. Namun lantaran belum ada larangan dari pihak Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) untuk mencapai titik itu, aku dan kedua temanku pun kembali menguras tenaga agar bisa tiba di tempat itu.  

Tugu Puncak Garuda adalah spot paling ideal untuk menyaksikan keindahan Merapi. Ke kemana pun mata memandang, yang ada adalah langit biru yang melatari hamparan hutan, gunung dan segala yang mahluk berkeriap di setiap ceruk dan sudutnya. 

Di puncak ini, kami juga bisa melihat jelas kawah Gunung Merapi yang menyemburkan asap tipis. Sementara aroma belerang terasa menggoda hidung. Di ketinggian 2930 mdpl  ini, kami melihat kami juga melihat gelombang awan serupa kapas putih yang berarak pelan. Sungguh menakjubkan.

Video seru hari ini:

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred Reporter: Winento

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co