Andangigi, Ritual meminta Hujan Masyarakat Bulukumba

17 September 2018 08:19

Sabtu (15/9) pagi, suasana sakral menyelimuti kawasan hutan adat Tanah Toa (Tanah Leluhur). Lokasinya ada di Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Meski banyak orang yang hadir, namun keheningan melingkupi tempat itu. Semua peserta  fokus pada ritual Andingingi dengan seorang  tokoh kampung yang disebut Kunjoma Ammatoa sebagai pemimpinnya.

“Adat budaya dan alam masih terpelihara baik di sini. Suku Kajang memiliki 26 pemangku adat. Wilayah ini juga satu-satunya yang tidak dijajah oleh Belanda. Waktu itu, Kajang mengusir penjajah dengan beras ketan. Tidak ada perang. Dan kearifan lokal terjaga turun temurun,” ungkap Panglima Adat Kajang Mohamad Amir, Sabtu (15/9).

Ritual Andingingi berarti pendingin. Ini adalah sebuah satu ritual yang dilaksanakan oleh suku Kajang untuk meminta hujan kepada Yang Maha Kuasa.Penyelenggarannya memberi warna pada gelaran Festival Pinisi 2018 yang digelar di Bukukumba. 

Rangkaian prosesi Andangingi diawalidengan membawa air suci dan rangkaian bunga. Rangkaiannya terdiri dari ikatan bunga pinang dan beberapa jenis dedaunan. Prosesi ini dilakukan dengan  tiga kali mengelilingi area ritual. Berikutnya dilakukan bekbek beseh, yaitu memercikan air suci kepada pengunjung di tiga arah mata angin.

“Prosesi Andingingi menggunakan air suci dari 40 sumber mata air. Air ditempatkan dalam sebuah pamuneang nyereh. Posisinya ada di sentral lokasi ritual. Di sebelahya, disertakan daung raung kajo patang puloh buangun. Itu adalah  40 jenis dedaunan dari hutan adat yang biasa digunakan masyarakat untuk bahan ramuan utama obat-obatan tradisional,” tutur Muhamaad Amir.

Setelah percikan air selesai, ritual dilanjutkan dengan pemberian baca’, yang berupa campuran bubuk beras, kunyit, dan dedaunan obat-obatan. Semua pengunjung pun mendapatkan baca’ di dahi dan pangkal leher bagian depan. Ritual pemberian baca’ ini sebagai tanda keselamatan. Lalu, lentera dari minyak kemiri dan kapas pun dinyalakan seiringi dengan dibacakannya mantra ritual Andingingi. 

Kemudian, ubai rampai ditempatkan dalam kamboti (keranjang) kecil. itu adalah sebentuk sesaji ini berupa kukusi lekleng, kunjona, kaloko toa, dan loka katiung. Ada juga daun sirih, ketupat, telor, dan udang. Pada sisi tepi kamboti lalu ditancapkan bambu pendek dan lentera minyak kemiri. Sesaji ini letakan di beberapa tempat tertentu dalam hutan adat.

Suasana ritual Andingingi sangat kental dengan nuansa magis. Selain lantara efek pepohonan besar di sekelilingnya, juga karena warna busana yang dikenakan oleh pengunjung. Semua yang hadir mengenakan busana serba hitam dan tidak boleh mengenakan alas kaki. Busana kaum pria terdiri dari passapu (penutup kepala), brak’ne (baju), dan topeh (sarung). Untuk wanita, ada bahine (baju) dan topeh lekleng (rok).

Rangkaian Andingingi ditutup dengan makan bersama. Menariknya, wadah untuk makan ini memakai tempurung kelapa. Makanan yang disajikan merupakan swadaya masyarakat Desa Tanatoa.

Rangkaian ritual Andingingi pun ditutup dengan pembagian ubai rampai. Masyarakat lalu membawa pulang air suci dan dedaunan yang sudah didoakan bersama. Piranti ini dipercaya bisa menghilangkan efek berbagai negatif. Setelah ritual, agenda dilanjutkan dengan pesta kegembiraan. Ada Tarian Pabitte Passapu dan Tunu Panroli. Tunu Panroli ini biasanya digunakan untuk menguji kebenaran sebuah fakta.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengaku senang dengan kemasan Festival Pinisi. Karena sangat kaya akan sentuhan budaya.

“Bulukumba ini memiliki kekuatan budaya luar biasa. Bukan hanya Kapal Pinisinya, tapi juga filosofi yang dibangun masyarakat Kajang. Inilah paket atraksi terbaik yang dimiliki Bulukumba. Destinasi ini memang luar biasa, apalagi ditunjang dengan aksesibilitas dan amenitasnya,” tutup Menteri Pariwisata Arief Yahya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co