Liputan Khusus

Dana Asing Guyur Sektor Perfilman, Kamu Wajib Tahu Soal DNI!

Dana Asing Guyur Sektor Perfilman, Kamu Wajib Tahu Soal DNI! - GenPI.co
Wakil Kepala Bekraf, Ricky Joseph Pesik (foto: Sapta Inong)

 

Nah, untuk urusan modal pembuatan film agar hasil tontonan yang disajikan menjanjikan dan pada akhirnya laris di pasar, setidaknya saat ini sudah tidak ada halangan lagi sejak investor asing diperkenankan mendanai produksi suatu film. Hal ini tertuang dalam pPeraturan Presiden yang mengatur Daftar Negatif Investasi (DNI).

Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ricky Joseph Pesik mengatakan sudah 4 tahun terakhir ini, sektor perfilman di Indonesia dicabut dari deretan DNI.

Ricky mengatakan kebijakan itu membuat ladang bisnis di bidang perfilman Indonesia semakin kinclong. Perkembangan di sektor perfilman menjadi sangat signifikan. 

“Jadi pencabutan DNI itu menyebabkan dimungkinkannya investasi asing dari semua lini industri perfilman Indonesia, baik di produksi, distribusi maupun eksibisi,” kata Ricky saat ditemui GenPI.co di kantor Bekraf RI, Jakarta Pusat (26/8/2019).

Tak lagi ada larangan modal investor asing terkait produksi film Indonesia dan distribusinya sejak 2015, menyebabkan meningkatnya semangat investor asing untuk ikut bermain dalam pasar film nasional. 

Hal tersebut ditandai dengan peningkatan sejumlah angka di industri perfilman Indonesia dalam 3 tahun terakhir. Salah satunya adalah peningkatan jumlah layar bioskop Indonesia akibat adanya investasi asing.

“Waktu DNI belum dicabut pada tahun 2014, kita cuma punya layar bioskop sekitar 900-an untuk sekitar 260 juta penduduk. Nah, sekarang layar bioskop di Indonesia hampir 2.000,” kata Ricky.

Dana Asing Guyur Sektor Perfilman, Kamu Wajib Tahu Soal DNI!

Jumlah layar bioskop (grafik: GPBSI)

Jumlah Layar Bioskop dikutip dari GPBSI:

2019 (s/d Maret): 1.782
2018: 1.774
2017: 1.518
2016: 1.243
2015: 1.111
2014: 942

Dampak positif lainnya dari pencabutan sektor perfilman dalam DNI, menurut Ricky adalah adalah meningkatnya jumlah produksi film, dan meningkatnya jumlah box office film nasional.

“Sebagai contoh, pada tahun 2014 dari total jumlah penonton nasional, angka penonton film nasional itu baru 16 juta. Nah, di tahun 2018 angkanya sudah menunjukkan di atas 50 juta. Menurut saya ini ada kaitan dengan semangat masuknya sejumlah investor ke bisnis perfilman,” ujarnya.

Sejak dicabutnya DNI di sektor perfilman Indonesia, Ricky menjelaskan bahwa jumlah investor asing yang menanamkan modalnya di industri perfilman Indonesia cukup besar, diantaranya adalah Singapura dan Meksiko.

“Setelah dicabutnya  sektor perfilman dari DNI ada 2 investor besar yang masuk ke pemain nasional kita. Ada investor Singapura yang masuk ke salah satu jaringan bioskop nasional, ada juga perusahaan film besar Meksiko yang masuk ke salah satu jaringan bioskop nasional,” ungkapnya tanpa merinci lebih lanjut.

Sektor film sendiri menyumbangkan pemasukan yang cukup besar untuk negara. Menurut Ricky, hal tersebut dikarenakan film dapat menciptakan multiplier effect ekonomi ke sektor lainnya, seperti pariwisata, desain produk, fesyen, musik.

Saat ini menurut Ricky, tantangan bagi industri perfilman Indonesia adalah bagaimana untuk meningkatkan kulitas sumber daya manusia (SDM) yang menjadi faktor utama dalam menggerakkan perfilman nasional. 

Salah satu yang perlu jadi perhatian pemerintah adalah akselerasi SDM. Menurut Ricky, kebutuhan industri perfilman semakin tinggi, sehingga standardisasinya perlu dilakukan.

Untuk terus menunjang kualitas SDM di sektor perfilman nasional, Bekraf secara rutin menyelenggarakan pelatihan untuk para insan perfilman. Selain itu, menurut Ricky, yang sedang digencarkan Bekraf adalah mendorong hadirnya insentif bagi para pelaku ekonomi di bidang perfilman. 

“Itu mendorong mereka untuk menjadi lebih kompetitif. Di seluruh dunia itu kita tahu bahwa perfilman adalah industri yang penuh dengan insentif bagi pelaku lokalnya,” ungkap Ricky.

Harapan Ricky untuk sektor perfilman Indonesia adalah agar bisa menembus pasar global. Dirinya berharap, para sineas semakin terpacu untuk membuat konten yang berkualitas dan bisa bersaing di kancah internasional.

“Mungkin yang menjadi tantangannya ke depan adalah bagaimana Indonesia bisa melahirkan film-film yang mengambil genre yang unik dan pasar yang spesifik, tapi dia juga exportable pada akhirnya sebagai konten. Itu yang menarik,” tuturnya.

Pemerintah melakukan pelonggaran DNI yang memperbesar peluang penanaman modal asing (PMA) untuk berinvestasi di Indonesia. 

Adapun beberapa bidang usaha dibuka untuk memberi kesempatan bagi kepemilikan asing salah satunya di bidang perfilman.

Pelonggaran itu dilakukan dengan merevisi Perpres No. 39/2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal menjadi Perpres No. 44/2016 tentang Daftar bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Berikut perbedaan aturan persyaratan PMA di bidang perfilman yang di atur dalam Perpres No.39/2014 dan Perpres No. 44/2016:

Perpres No. 39/2014:

Terbuka untuk PMA

Jasa Teknik Film (PMA maksimal 49%)
Studio pengambilan gambar film (PMA maksimal 49%)
Laboratorium pengolahan film (PMA maksimal 49%)
Sarana pengisian suara film (PMA maksimal 49%)
Sarana pencetakan dan/atau penggandaan film (PMA maksimal 49%)
Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, still, photo, slide,klise, banner, pamflet, baliho (PMA maksimal 51%)

Tertutup untuk PMA

Sarana pengambilan gambar film 
Sarana penyuntingan film 
Pengedaran film
Sarana pemberian teks film
Pembuatan Film
Pertunjukan Film

Perpres No. 44/2016:

Di bidang perfilman, Perpres ini hanya mengatur soal ketenuan pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, still, foto, slide, klise, banner, pamflet, baliho, folder (Persyaratan Penanaman Modal Dalam Negeri 100%, atau maksimal 51% bagi penanam modal dari negara-negara ASEAN)

Lihat video seru ini:

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya