
Menurut Saiful, perbedaan pandangan antara elit dan massa pemilihnya ini bisa berpengaruh negatif pada partai-partai tersebut.
Lebih jauh Saiful menyatakan bahwa perbedaan sikap elit dan massa partai ini juga bisa menunjukkan bahwa para elit tersebut gagal dalam melakukan sosialisasi.
Dalam banyak kasus di negara lain, lanjut Saiful, untuk mengambil sikap terhadap sebuah kebijakan, biasanya mereka melakukan diskusi terlebih dahulu di tingkat komunitas pemilih mereka.
BACA JUGA: Demokrat Bukan Partai Oposisi Brutal, Kata AHY
Hasil diskusi di tingkat komunitas itu kemudian dibawa ke atas untuk dijadikan acuan sikap partai, karena mereka loyal pada konstituen.
Sementara itu, di Indonesia, dua partai penentang utama kebijakan pengurangan subsidi BBM justru memiliki pendukung yang mayoritas menyatakan tidak adil orang yang tidak mampu dan yang mampu sama-sama mendapatkan subsidi BBM.
BACA JUGA: Pasangan Anies-AHY, Koalisi Oposisi di Pilpres 2024
“Representasi atau keterwakilan sikap terhadap sebuah kebijakan di tingkat massa itu penting, apakah mereka (elit) bersuara mencerminkan sikap pendukung mereka atau tidak,” simpulnya.
Namun, walau pun mayoritas pemilih partai yang tahu subsidi BBM menyatakan hal itu tidak adil, tapi jumlah warga yang tahu masih relatif sedikit.
BACA JUGA: Presiden PKS Blak-blakan, Jadi Oposisi Bukan Asal Beda
Hal itu, kata Saiful, adalah petunjuk bahwa pemerintah sejauh ini kurang berhasil melakukan sosialisasi bahwa BBM itu disubsidi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News