
Di kalangan akademi, nama Ningrum memang bukan siapa-siapa. Bukan profesor. Baru asisten profesor. Kampusnyi pun bukan UI atau ITB.
Ningrum hanya menyebut dirinyi sebagai pencinta kesehatan dan angka-angka. Ayahnyi, seorang tenaga kesehatan lulusan SMEA di Yogyakarta, ingin Ningrum masuk fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dia takut darah. Dia tidak ingin mengecewakan sang ayah. Begitu lulus SMAN 1 Yogyakarta, Ningrum ikut tes masuk fakultas kedokteran. Niatnyi hanya ingin menjadi sarjana kedokteran –tidak ingin jadi dokter.
Yang diterima justru pilihan kedua yang idenya datang dari ibunda. Ningrum pun masuk fakuktas kesehatan masyarakat di Universitas Diponegoro, Semarang. UGM tidak punya program S-1 kesehatan masyarakat –seperti ikut model Eropa.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Bambu Hermawan
Minatnya selama S-1 adalah di epidemiologi. Lalu masuk S-2, masih di Undip, di bidang sistem informasi manajemen kesehatan.
Sebenarnya Ningrum ingin S-2 nyi di luar negeri. Tapi setiap kali tes tidak bisa lulus. Kemampuan bahasa Inggrisnya kurang. TOEFL-nyi tidak bisa mencapai 600. Hanya 498. Padahal sudah banyak kursus. Akhirnya S-2 tetap di Undip.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Hari Gosip
Rezeki ke luar negeri itu datang di tahun 2012. Dikti mengirim 100 dosen untuk kursus pendek di Taiwan. Tiga bulan. Pilihan Taiwan karena tidak mensyaratkan Bahasa Inggris yang tinggi. Sistem kesehatan masyarakatnya pun sangat sukses.
Program itu mengantarkan Ningrum masuk S-3 di Taipei Medical University. Dia mengambil biomedical informatics.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Gajah RK
Di sana Ningrum dibimbing oleh salah satu guru besar, peneliti, yang juga ketua asosiasi international medical informatics.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News