Cerita Horor : Wanita Penunggu Rumah Nomor 13

02 Agustus 2019 23:59

GenPI.co - Aku, sebut saja Jen. Aku masih ingat betul kala pertama ayah dan ibu membeli rumah di salah satu komplek di Bekasi ini. Terletak di antara Pondok Gede - Jatiasih, perumahan ini kerap dilanda banjir. Herannya, ayah dan ibu betah banget lantaran hanya rumah ini yang terjangkau dengan keuangan mereka. Dan itu tahun 1996. Aku masih duduk di bangku 2 SMP, sekarang dibilangnya kelas 8, dan harus meninggalkan sekolahku di Jakarta untuk pindah ke Kota Patriot ini.

Komplek yang menurutku menyebalkan. Gak punya tetangga, dong! Ada sih tapi hanya beberapa rumah saja. Namanya komplek, perumahannya saling senderan kayak remaja baru-baru banget jadian. Ada pula yang di bagian depan. Maklum, perumahan bank negara itu, lho. Ngeliat bangunannya, lebih banyak yang dikorupsi ketimbang digunakan. Dinding rumahku bisa dipretelin dengan amat mudahnya kalau kita punya kuku panjang. Ah elah, Bu, kenapa harus di sini sih? Aku protes.

Ilustrasi perumahan (Istimewa)

Tapi itu awalnya. Sampai akhirnya aku yang doyan eksplorasi tempat menemukan lapangan yang asyik banget untuk beraktivitas ala-ala mountain bike. Tanahnya merah dan ada bebatuannya. Wuih, pokoknya asyik deh. Jadi, komplek perumahan ini memiliki tetangga kampung yang letaknya menanjak. Sumpah enak banget ke sana, hanya sekitar 15 menit dari rumahku dengan bersepeda. Auto habis sekolah bakalan betah banget di tempat itu. 

Dan, kerjaanku tiap hari memang bersepeda keliling komplek juga, lalu ke tanah lapang, lalu komplek perumahan lagi. Begitu terus sampai tukang bubur selesai naik haji. Senyum-senyum tipis sama tetangga. Aku dikenal banyak 'bacod' alias sering banget basa-basi dengan mereka. Calon emak-emak ye, kan. Tapi hanya ada satu tetangga yang tak pernah kulihat. Tetangga di rumah nomor 13, yang letaknya persis di belakang rumahku.

Yang kudengar rumah itu dihuni seorang wanita yang memang tak pernah keluar rumah. Cuekin saja lah. Namun beberapa peristiwa penting maha dahsyat yang akhirnya membuat aku selalu trauma bila mengingatnya. Mengingat wanita itu dengan segala keanehan yang menancap di benakku hingga sekarang usiaku hampir kepala 4. Tak bisa semudah itu kulupakan.

Peristiwa pertama, tepat dua bulan aku dan keluarga tinggal di rumah itu, ayah dan ibu sempat meninggalkan aku, kakakku, dan adikku yang masih TK di rumah sendirian. Mereka pergi reunian berdua saja di malam minggu, aku lupa tanggalnya. Aku dianggapnya sudah gede sehingga adik diikhlaskan dalam penjagaanku. 

Kakakku bukan orang yang pedulian sama adik. Dengan santainya dia hanya mengunci diri di kamar, gak peduli adikku sudah makan atau belum. Kalau aku saja sih gampang. Masak mie instant juga jadi. Lah, adikku yang kecil? Hellow apa kabar, kak? Ah, daripada gak waras mikirin dia, lebih baik aku membuat makanan untuk adikku. Mie instant dulu ya, dek. Maaf kalau di masa depan kamu akan dikenal sebagai generasi micin.

Aku beranjak ke dapur yang memiliki sekitar 4 atap bukaan dan hanya dilapisi plastik tebal bening. Jadi langsung menatap langit. Terkadang aku suka ngayal, ada yang mengintip dari sana. Entah orang, binatang, atau bukan keduanya. Kok agak merinding? Ah, buru-buru kulenyapkan pikiran aneh tersebut. Fokus masak mie instant. 

Kelar memasak mie, kumatikan kompor. DUG! Mendengar tembok belakang rumahku yang menempel dengan dinding wanita nomor 13 berbunyi keras sekali. Seperti dihantam benda tumpul. Kenapa gak roboh? Karena dua lapis. Dinding rumahku dan rumahnya. Jantungku berdetak kencang. DUG! Terdengar lagi suara yang sama, sampai 3 kali. Aku tak bergerak. Mau pingsan malu sama adik. Tapi itu suara apa, ya? Suaranya berhenti. Pelan-pelan kulangkahkan kaki dekat tembok dan mencoba menempelkan telingaku ke dinding belakang. Lalu ... 

Mbak, mienya dah jadi? adikku mengagetkanku! Sial, lah. Segera kubereskan membuat makanan untuk adikku. Lalu kami duduk-duduk manja di depan televisi.

Adek, kamu denger gak suara tadi? Bug, gitu. Kayak badan kita kalau digebukin pakai guling, dan jangan nanya, karena aku gak ada perumpamaan lain.

Engga tuh, jawab adikku singkat. What the hell. Pasti dia bohong. Suara sekeras itu harusnya terdengar paling tidak jarak 10 meter. Nah, panjang rumahku ada sekitar segitu. Auto adikku pasti denger, kan.

Adek kamu jangan bohong nanti dosa tau. Denger apa engga?

Ih, dibilangin engga, katanya.

Suara televisi kamu gak kegedean, kan?

Lah, ini TV baru dinyalain, katanya dengan logat agak cadel.

Dia benar. TV baru dinyalakan. Baru ini. Artinya memang cuma aku yang mendengar. Sambil menemani adikku makan. Bulu kudukku merinding. Semoga ayah dan ibu cepat pulang. 

-----------------------------

Bangun-bangun aku sudah di atas kasurku sendiri. WTF! Aku segera bergegas keluar sambil deg-degan. Sudah pagi rupanya, matahari meninggi. 

Aku kok di dalam kamar? Harusnya depan TV! tanyaku nge-gas kepada ayah dan ibu yang lagi sarapan.

Lah iya, memang depan TV sama adek, ketiduran. Makanya ayah angkat ke kamar. Histeris gitu? ucap beliau.

Aku cuma Oooo, panjang. Ingin kembali rebahan. Tapi kuurungkan karena ibu masak nasi goreng yang kayaknya enak. Tak perlu cuci gigi, langsung kusikat nasi goreng buatan ibu yang lezatnya bisa umroh 7 kali. Enak banget, bu, kataku. Ibu cuma senyum.

Nah, kita skip dulu sampai sini. Lagi enak-enaknya menyantap masakan ibu, ibu cerita pada ayah dalam bahasa Jawa. Mungkin berharap aku tidak ngerti. Tapi percayalah bu, walau dibesarkan di Jakarta, adat Yogyakarta terutama memahami bahasa Jawa kupegang teguh. Langsung aja ke artinya, ya. 

Semalam waktu kita sampai, trus kamu mandi, aku mendengar ada orang menangis dari arah rumah belakang, kata ibu ke ayah.

Ayah gak denger apa-apa, kata ayahku.

Ya jelas, keran kamar mandi kamu nyalain. Tangisannya cukup kencang. Kayak habis dianiaya, ujar ibu lagi.

Ayah menangkap kegelisahan ibu. Aku pura-pura cuek sambil melanjutkan baca novel Goosebumps. Anak era 90-an pasti tau banget novel ini. Ceritanya soal hantu-hantuan yang lumayan mengejutkan. Sambil buka-buka Goosebumps, kudengar cerita-cerita ayah dan ibuku lagi.

Nanti coba ayah sama aku bertamu ke sana. Takut ada apa-apa. Kalau memang ada penganiayaan, kita panggil polisi, tutur ibuku.

Ya sudah, nanti kita kesana. 

Ayah dan ibuku hendak ke sana sekitar pukul 14.00 WIB berkunjung ke rumah belakang sekaligus membawakan kue-kue. Bagi warga Jogja, bertamu dengan membawa buah tangan itu wajib hukumnya. Kami tak biasa melenggang begitu saja tanpa oleh-oleh, walau itu hanya roti 4 biji sekalipun.

Kulirik jam, masih jam 09.00 WIB. Masih lama. Aku membayangkan ayah dan ibuku berkunjung ke sana dan akhirnya bisa cari tahu mengenai wanita misterius di belakang rumah kami. Penasaran.

Akhirnya jam 14.00 WIB tiba. Aku ingin sekali mengingatkan ayah dan ibu akan janjinya pergi ke rumah tetangga belakang. Tapi stay cool aja, lah. Bisa-bisa disemprot beliau kenapa curi dengar percakapan orangtua. Ya sudah, aku pura-pura main PS dan berusaha gak ngerti apa pun.

Ke luar sebentar, ya Jen, kata ibuku. Aku cuma menjawab he eh, padahal keponya setengah mampus. 

Baru pergi sekitar 10 menit, ayah ibu sudah balik ke rumah. Orangnya gak ada, kata ibu. Diteriakin sampai pegel, gak keluar. Tapi lampu teras depannya hidup. Mungkin lagi pergi, kata ibuku lagi.

Kok aku curiga, ya? Sepertinya dia gak pergi tapi memang mengurung diri. Eh, suuzon banget, tapi namanya anak kecil, lagi hobi-hobinya kepo. Gimana caranya untuk investigasi sebenarnya wanita itu di rumah atau tidak. Pura-pura ambil sepeda, ah.

Jen, mau kemana kamu? kata Ayah.

Main, jawabku singkat.

Mandi belum, apa belum, sikat gigi belum, main saja anak satu ini. Mandi dulu, ibuku menyahut 

Hih elah, aku beringsut manyun ke dalam rumah. Kuteruskan saja nonton TV lah. Lagian panas matahari lagi nyengat-nyengatnya. Nanti saja mandi sekalian sore, hehehe. Begitulah aku, waktu kecil malas mandi banget.

------------------------

Sore menjelang, pukul 16.35 WIB aku masih ingat sekali jamnya. Lantaran itu jam berbentuk kotak yang bisa disetting ulang. Pasti kamu tahu, deh. Jam lama klasik dan dia berhenti tepat saat aku melihatnya. Nanti saja kusetting, sekarang mau mandi dulu. Mau main sepeda, yippie.

Kelar mandi, segar, wangi, aku langsung bergegas ambil sepedaku. Kali ini agak malas ke lapangan, nanti kotor lagi, kan aku udah mandi. Aku niatkan saja keliling komplek perumahan. Oia, nama-nama jalan di perumahanku ini diambil dari nama gunung. Ada Merapi (jalan rumahku), Ada Malabar, Pangrango, Gede, Tinombala, Rinjani, banyak lagi. Satu RT biasanya terdiri dari 4 baris rumah yang berhadapan dan membelakangi. Jalan rumah wanita itu bernama Gunung Kawi. Aku melewatinya nanti, kalau sudah mau pulang, biasanya deket-deket maghrib.

Karena komplek ini belum banyak yang menghuni, mobil dan motor sangat jarang. Aku bisa kebut-kebutan sepeda lalu menikung tajam di belokan tanpa takut ada kendaraan lain di hadapanku. Oh, sungguh mengasyikkan. Tapi itu dulu. Sekarang gak usah ditanya. Tetangga ibuku bisa punya 3-4 mobil dan garasi rumahnya hanya muat 1 mobil. Kebayang sempitnya jalan-jalan di perumahan ini.

Oke skip.

Hari menjelang maghrib. Saatnya untuk pulang. Aku melewati Jalan Kawi pelan-pelan. Di gang ini kuhitung hanya 7 dari 12 rumah yang sudah ditempati. Sisanya kosong. Aku mulai melewati rumah nomor 13. Pagarnya hanya setinggi dada orang dewasa, kira-kira setinggi kepalaku. Tapi pagarnya jarang-jarang dan tidak ditutupi apa pun sehingga kita bisa melihat ke balik pagar.

Rumah kosong (Foto : Iustrasi)

Entah kenapa aku berhenti agak lama di depan rumah itu. Sambil kuperhatikan setiap sudutnya. Rumah itu ada cahaya bohlam di terasnya tapi kayak bohlam di peternakan ayam negeri. Penuh debu, sarang laba-laba, dan temaram. Aku sampai merebahkan sepeda di tengah jalan, mendekat ke arah pagar.

Kuperhatikan kaca depan rumah, ADA YANG MENGINTIPKU! SEBELAH MATA YANG MELOTOT MEMBESAR! Hanya terlihat mata, tidak terlihat wajahnya! Buru-buru kuambil sepeda dan ngacir! Sial, seram sekali! Hingga hari ini mata itu masih suka terbayang-bayang. Bahkan mendefinisikannya saja aku gemetar.

Hingga saat aku melihat mata itu dan naik kelas 3 SMP tidak ada kejadian yang terlalu aneh. 

Oke skip.

Hingga akhirnya menginjak kelas 3 SMP, ayah ibuku mulai bisa membangun rumah. Kami lumayan terpandang lah di komplek. Apalagi ayah bekerja di BUMN minyak itu. Gajinya mungkin yang paling besar di perumahan yang lebih mirip papan subsidi untuk warga tak mampu sebenernya. Tapi ya sudahlah, ya. Disyukuri aja. 

Hore, rumahku bakal bertingkat. Tapi ibu bilang di atas khusus untuk mencuci, jemur, serta menyetrika. Jadi tidak dibuat ruangan bertembok. Tetap terbuka dengan dikelilingi teralis sehingga maling tidak masuk. Well, mantul juga ide ibuku. Jadiin.

Ada 1 tukang dan 2 yang membantunya, biasanya disebut kenek. Sebelum membangun, ibu minta izin tetangga kiri-kanan-belakang supaya tak terganggu aktivitas para tukang ini. Giliran di rumah belakang, lagi-lagi ibu tak bisa menemui pemiliknya. Ibu memintaku menemani pergi ke Pak RT mencari tahu siapa pemilik rumah nomor 13. Wah iya, kenapa gak dari awal nanya pak RT?

Pak RT sendiri merupakan seorang pegawai swasta yang hampir jarang memperhatikan warganya karena sibuk bekerja. Pak Ahmad namanya. Dia berusia kayak ayahku, pada waktu itu masih 47 tahunan. Pak RT mempersilakan ibu dan aku duduk.

Rumah pak RT ada di ujung jalan Merapi, jalanan rumahku. Kekuasaan pak RT meliputi Jalan Merapi dan Jalan Kawi. Ibu haha hihi sebentar sama bu RT sambil menanyakan pertanyaan-pertanyaan template. Anak berapa, di mana dulu tinggalnya, bla bla bla. Aku cuma bengong sambil ngeliatin ruang tamu pak RT.

Denah rumahku (Foto : Dok. Pribadi)

Tibalah pertanyaan mendasar. Anu pak RT, saya mau tanya, itu rumah di belakang saya siapa, ya? Saya sejak 11 bulan lalu pindah ke sini, tidak pernah tahu. Siapa di belakang saya itu. Tapi kadang saya mendengar suara-suara aneh. Kayak orang nangis, atau bertengkar karena ada suara bag bug bag bug yang kedengeran sampai dinding rumah saya. Tiap saya samper, gak pernah ada yang keluar. Atau mungkin orangnya lagi pergi. Kalau bertamu malam-malam kan kurang sopan. Jadi jarang saya ke sana kalau malam. Biasanya siang. Saya mau minta izin ke dia, karena saya mau bangun rumah. Namanya tetangga, saya gak mau kalau dia merasa keberatan saat bangun rumah suaranya berisik. Saya minta kesediaan pak RT untuk menjelaskan sama yang punya rumah. Barangkali pak RT bisa membantu saya, kata ibu.

Pak RT dan Bu RT pandang-pandangan. Bu RT tersenyum agak kecut dan menghela nafas panjang, lalu mempersilakan suaminya untuk menjelaskan, monggo, pak. Oia, mereka juga orang Jawa. Dari Semarang.

Anu, bu. Jadi begini. Yang tinggal di situ namanya ibu Tantri. Sudah lama beliau mengidap kurang waras. Dulu mereka orang pertama yang menghuni perumahan ini. Paling tidak orang pertama di RT ini, baru saya. Dulu gak gini keadaannya, baik-baik saja. Saya sempat ngobrol sama suaminya, sekitar 3 tahun lalu. Sampai suaminya dan anak-anaknya pergi meninggalkan Bu Tantri. Dia di sana seorang diri. Memang gitu, kalau ada tetangga yang datang, dia gak mau keluar. Paling ngintip doang di balik tirai, jelas pak RT Ahmad.

Kalau mau bangun rumah, ya bangun saja. Tidak apa-apa. Yang penting niat kita baik. Semoga Bu Tantri tidak keberatan. Selama ini gak ada yang aneh-aneh sih laporannya. Paling ya, hanya bu Tantri nangis saja atau suara-suara kayak pukulan ke dinding. Tapi gak masalah. Kalau ada apa-apa, mending ibu lapor lagi saja.

Ibu tersenyum, sudah dapat jawaban. Aku pun lega. Oh, orang gila tho, pikirku. Kami pun pulang.

Ayah dan ibu memulai proses pembangunannya. Dikarenakan keluarga kami setengah kejawen, ayah dan ibu tak lupa menaruh sesaji agar pembangunan berjalan lancar. Bukan sesaji aneh-aneh pake ayam cemani segala, hanya bubur merah dan putih. Hio dengan jumlah ganjil, bunga-bunga diutamakan melati dan kenanga yang ditaruh dalam bejana air mawar. Itu saja.

Cukup lama juga, sebulan penuh proses pembangunan sampai jadi. Lancar dan hasilnya sungguh kece. Semi bangunan beratap jadi tak kehujanan. Teralis menutup di bagian belakang dan arah selatan. Bentar deh digambarin biar ada bayangan, hehehe.

Denah tempat cuci setrika rumahku (Foto : Dok. Pribadi)

Kira-kira begitulah. Nah, di bawah teralis dekat mesin cuci adalah rumah nomor 13, dan di bawah teralis dekat saluran air adalah rumah nomor 19, samping rumahku. Aku bisa melihat atap rumah mereka. Dan rumah nomor 13, satu atapnya hilang. Memungkinkan aku melihat isi rumahnya dari atas. Tapi gak juga ternyata, karena ketutup plafon. Duh, otakku, please jangan kepo.

Oke tanpa berbasa-basi lagi, aku yang kebagian tugas nyuci semangat banget mencoba area cuci-jemur dengan perdana. Apalagi ibu menaruh bale-bale dengan modifikasi kasur kecil di atasnya. Empuk banget. Tugas mencuci jadi terasa aduhai. Biasanya aku mencuci di malam hari sambil kuselingi dengan belajar. Padahal ibu menganjurkan untuk mencuci seminggu sekali saja, yang penting pakai digosok manual pas hari libur. Duh, malas. Ini rela kulakukan biar hari liburku bisa main seharian.

Oke skip.

Gak tau kenapa mungkin kebetulan yang menyebalkan, mencuci perdana itu hari Kamis mendekati Maghrib. Siangnya pulang sekolah kan tidur, hehehe. Awalnya aku gak ngeh apa pun. Mulailah ritual mencuci, rendam, kasih sabun, putar, tinggal baca buku.

Lama kelamaan aku mencium bau darah yang pekat di tempat cuci. Baunya sungguh anyir. Sampai-sampai aku pusing. Makin mendekat ke mesin cuci, baunya makin kuat. WTF! Aku melihat 3 anjing besar mati di atap rumah nomor 13! Dari tempat bale-bale, bangkai anjing itu gak kelihatan. karena digantung di bagian bawah teralis. Ini apaan, ya Lord!

Aku ngacir menuruni tangga. Teriak kusebut nama ibuku. Ibu dari dalam kamar habis salat Maghrib ikutan panik. Kenapa? Kenapa? tanya ibu. 

Bangkai, bangkai, kataku

Bangkai apa?

Anjing, anjing, ada bangkai anjing di tempat cucian, kataku sambil atur nafas.

Ibu keheranan sekejap. Sambil membenahi mukenanya, dia pun ke atas. Dan .... Mana bangkai? Kamu ngigau. Makanya kalau maghrib di dalam rumah sebentar. Bikin panik aja, ibu beringsut ke dalam sambil marah-marah. 

Aku mendekat ke arah atap rumah nomor 13. Ibuku tak salah. Bangkai itu sudah tak ada! Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyi. Entah kenapa mataku memandang ke atap rumah nomor 13 yang bolong. Aku mendekat ke arah atap itu, lalu melihat di bawahnya. What?! Udah gak ada plafonnya! Aku samar melihat bagian rumah tersebut karena cuma diterangi cahaya beberapa lilin. DAN ... Aku melihat wanita itu. Rambutnya ngebob, kayak Dora the Explorer tapi acak-acakan. Dia seperti menggendong sesuatu. Di lantainya kayak ada bercak-bercak apa itu, ya. Mataku memicing, melebar, memicing, dan .... melebar melihat wanita itu ternyata memperhatikanku! MAMPUS! Aku buru-buru ngacir lagi ke bawah! HUAAAAA!

Bu, besok saja kukerjakan cucian, ujarku ketus.

Lah, kan sudah direndam, kata ibu.

BESOK, BU! Kalau kubilang besok ya besok! nadaku meninggi.

Ibu diam. Orangtuaku mengerti, kalau aku sudah marah, pasti memang ada alasan kuat. Aku langsung cuci kaki, masuk kamar, dan merebah. Mengingat wajah wanita itu. Putih pucat, lingkaran matanya hitam seperti tak tidur berhari-hari, bibirnya celemongan lipstik atau darah aku tak tahu, yang jelas berwarna merah. Orang gila, mati saja kau, aku misuh-misuh dalam hati sampai ketiduran.

---------------------

Jumat ceria di sekolah. SMP tempatku belajar cukup jauh dari rumah. Sekali naik angkutan umum. Jaraknya dari Bunderan HI ke Semanggi, lumayan dong kalau jalan kaki. Lantaran anak baru dan merasa gak selevel dengan SMP negeri, aku malas bergaul. Beda banget sama sekolahku ketika SD dan 1 SMP alias di kelas 7, aku masih di sekolah swasta Katolik yang cukup ngehits. Pindah ke Bekasi, di SMP Negeri pula, duh, jatoh pasaran, pikirku saat itu.

Di kelas 3 SMP atau kelas 9, aku baru kenal dekat dengan Yogi yang ternyata sekomplek denganku. Bukan cuma sekomplek, Yogi ternyata juga tinggal di jalan Kawi. Rumahnya nomor 10. Nih petanya. Sebenarnya aku sudah tahu sejak pertama kali pindah ke komplek ini. Aku sering ketemu Yogi ketika nunggu angkot. Dia bawa motor sendiri, tapi nyelonong aja tanpa menyapaku. 

Rumahnya Yogi (Foto : Dok. Pribadi)

Pucuk dicinta ulam tiba. Semoga Yogi bisa memuaskan dahaga kepoku bertanya soal wanita di rumah nomor 13. 

Eh, Yogi, gue Jen, kataku menyodorkan tangan.

Gue udah tahu, anak baru kan, lu, katanya agak songong.

Aku menarik tangan kembali sebab dia tak menyambut. 

Gue mau tanya sedikit, lu bisa bantu gue?

Soal apa?

Ibu-ibu di rumah nomor 13.

Yogi menatapku. Aku melihat kekhawatiran di wajahnya. 

Emang kenapa mau tau?

Gue ngerasa aneh aja. Masak tetangga sendiri gue gak kenal? Udah setahun gue di sana. Gue tau lu rumahnya deketan sama dia. Ceritain sedikit, ya.

Yogi diam beberapa saat. Yang gue tau, dia bukan orang, tapi kuntilanak, kata Yogi dengan suara pelan.

Eh buset! Kuntilanak katanya! Gue salah denger apa gimana.

Apa? Kuntilanak? Lu gak salah?

Engga. Jadi dia itu dulunya suka ke dukun. Jiwanya dijual, trus jadi kuntilanak. Ada pakunya di kepala, katanya. Gue denger-denger aja. Makanya dia gak pernah keluar. Aslinya udah mati dia itu kalau pakunya dicopot, Yogi enteng banget cerita. Datar. Gak ngerasa ngeri atau apalah. 

Tapi, lu yakin?

Yakin, sih. Habis gak pernah keluar. Gue udah tinggal di sana dari SD kelas 5. Gue sedikit pun gak pernah ngeliat dia. Cuma diceritain. Dulu keluarga bahagia. Ada suami, anak, terus pada ninggalin dia semua. Katanya gara-gara ilmu hitam tadi. Itu aja yang gue tau, kata Yogi

Btw, lu udah ada temen sebangku? Sama gue aja, Yogi menawarkan. Aku pun setuju. Demi informasi yang lancar.

----------------

Pulang ke rumah, sorenya aku main ke tempat Yogi. Tuh anak belum pulang ternyata. Ya sudah, kuhabiskan waktu dengan bersepeda. Masih ada matahari. Iseng-iseng aku berhenti di rumah nomor 13. Kembali menatap rumah itu, terutama bagian tirainya. Berharap wanita di dalam situ melihatku. Sengaja nantangin, masih terang. Kalau gelap, aku gak akan tahu siapa yang kuhadapi.

Lama aku berdiri, dia gak nongol-nongol. Ah, buang-buang waktu. Mending aku sepedaan lagi. Aku mengambil sepeda yang kurebahkan di tengah jalan. Saat hendak mengayuh, mendadak kakiku seperti ada yang menahan. Berat banget. Sepedaku juga jadi macet, rantainya ogah memutar. Ini kenapa?

Jen ....

WHAT'S! ADA SUARA MEMANGGILKU PADAHAL GAK ADA ORANG DISITU!

Jen ....

Tubuhku kaku. Hari sudah menjelang maghrib, tapi aku tak bisa kemana-mana. Tubuhku tak bisa bergerak, hanya kepala yang bisa digerakkan. Lidahku kelu, mau teriak minta tolong gak bisa. Aku menengok ke arah rumah itu, dan di tirainya, wanita itu melongokkan kepala. Wajahnya putih keabu-abuan. Dua matanya yang mengerikan menatapku. Senyumnya mengembang memperlihatkan gigi yang berlumuran darah. Jen ....

TERNYATA DIA YANG MEMANGGILKU! TAU DARI MANA NAMAKU? SIALAN!

Sekitar satu menit aku memberanikan diri menatapnya. Aku berusaha tak berkedip. Tantangin sekalian. Apa maunya dia? 

Dia menatapku tajam, senyum dan senyum. Aku merasa ada sesuatu yang janggal, dia seperti mendekat. Mendekat .....

Woi Jen! Jen! Ngapain di sini? Ternyata Yogi sudah ada di sebelahku.

Hari sudah maghrib. Matahari sebentar lagi benar-benar hilang. Badanku yang tadinya kaku sekarang sudah agak melemas tapi bulu kudukku tetap tegak. Aku memandangi Yogi dengan wajah ketakutan. Yogi memandangiku lalu memandangi rumah nomor 13.

Pulang aja yuk, Jen. Gue anter. Lu mah nyari perkara, kata Yogi.

Aku menurut.

Tiba di rumah, Yogi menceritakan semua pada ibuku. Wajah ibuku serius. Tapi beliau mencoba untuk bijak menanggapi semuanya.

Yang Yogi dengar-dengar itu kan semua belum terbukti. Kita tidak boleh prasangka buruk sama orang lain. Mungkin ini cara Tuhan menegur Jen karena sampai maghrib belum pulang. Kan pamali maghrib-maghrib di luar, kata ibu.

Yogi dan aku cuma pandang-pandangan. Akhirnya dia pamit pulang. Permisi tante, katanya sambil salim ke ibuku.

Aku mengucapkan terima kasih ke Yogi sambil janjian besok ke sekolah. Yogi berjanji menjemputku pukul 06.30 WIB agar kita berdua tak terlambat.

Setelah aku menutup pintu, ibu menyuruhku duduk lagi. Beliau menasihatiku.

Lain kali, jangan kamu usik orang lain supaya orang lain tak mengusikmu. Keingintahuanmu yang besar bisa mencelakakanmu, Jen. Tolong dimengerti kata-kata ibu. Andaikan yang Yogi ceritakan benar, lalu kamu mau apa? Sudahlah. Tugasmu itu belajar, tak perlu mencari tahu kehidupan orang lain, kata ibu.

Aku hanya mengangguk. Ibu meminta sekali lagi agar mengabaikan apa pun yang sekiranya ku dengar, ku cium, dan ku lihat mengenai rumah nomor 13. Ibu juga menyuruhkan terus minta pertolongan pada Tuhan agar selalu dilindungi.

Aku menyanggupi. 

Baca juga :

Cerita Horor : Kisah Lahan Angker Mencari Tuan di Bekasi

The Real Azab Ilahi, Siswa Terbentur Jendela karena Merekam Solat

Angker, Ini Kisah Mistis Tempat Pendaki yang Hilang di Bondowoso

Tahun demi tahun, walau ada apa pun yang aneh tapi masih tergolong wajar, aku hanya bisa diam. Ibu, ayah, kakakku, dan adikku juga sama, berusaha bersikap jika itu semua adalah hal yang baik-baik saja. Yang sedikit mengusikku, jika ada bayi lahir di komplek perumahan itu, buru-buru dibawa pergi. Kemana tau sampai bayi itu selesai ASI eksklusif. Beberapa kali tetangga kehilangan peliharaan, bahkan yang rumahnya berjauhan dariku. Dan sebagainya. 

Penemuan bangkai binatang di atas atap nomor 13 juga seringkali ada di hadapanku. Lagi-lagi aku berusaha biasa. Cuekin aja lah. Bodo amat. Terserah. Biarin. Suka-suka kamu aja, nyai.

----------------------------------------------------------

Waktu berlalu. Lulus SMP, lalu lulus SMA, lalu ke perguruan tinggi, dan akhirnya aku menikah. Dengan siapa? Haha, iya, Yogi. Lantaran tetangga dekat dan teman sepermainan, aku dan Yogi udah lebih mirip sahabat dalam kepompong. Nikah juga gak ramai-ramai banget karena semua orang sudah mengetahui kisah cinta kami. Jadi gak aneh.

Oh iya, hampir seluruh rumah di Jalan Kawi dan Merapi terisi penuh sekarang. Hanya rumah nomor 12 dan 14 saja yang tak berpenghuni. Dulu pernah ada yang membeli, tapi jadi over kredit dan sampai sekarang belum laku. Ada pula yang pernah mengontraknya tetapi hanya bertahan sebulan-dua bulan. Selebihnya, kosong lagi.

Kami menumpang di rumah mertua indah. Bolak balik saja. Kadang seminggu di rumahku, seminggu di rumah Yogi. Saat Yogi diterima kerja di BUMN, rencana aku mau mengontrak rumah sendiri tapi masih di wilayah komplek. Malam ini giliran menginap di rumah ibuku.

Dimana kita ngontrak nanti, mas?

Terserah, ucap Yogi.

Belakang sini? tanyaku sambil ketawa pelan.

Yogi menggeleng keras. Gak, gue gak mau ambil risiko. Ntar juga lu hamil, kan, dih gue gak berani ngucapin tapi udah kebayang yang engga-engga, kata Yogi.

Cieh, khawatir, aku menyenggol Yogi. Mendadak aku mual, ingin muntah. 

Nah, kan. Baru juga diomong. Hamil kali lu, periksa yuk, ujar Yogi ada rasa khawatir.

Ya udah ayuk, kataku.

Malam itu kami ke bidan yang buka praktik di depan komplek. 

Selamat ya Pak Yogi, istrinya udah 4 minggu ternyata, si bidan menyalami suamiku.

Mata Yogi berbinar-binar. Aku tersenyum melihat suamiku girang. 

Kami pulang ke rumah ibuku. Tapi entah kenapa Yogi mendadak ingin malam itu menginap di rumah ibunya. Gue deg-degan gini, ya. Nginep rumah nyokap gue aja ya, yang, kata Yogi.

Aku aneh melihat dia. Tapi kuiyakan. Ya udah terserah, bilang dulu sama ibu, kataku.

Yogi meminta izin pada ayah dan ibuku. Ibuku mengiyakan setelah sebelumnya keduanya ikutan girang karena kabar bahwa kami akan punya anak. Kami pun langsung ke rumah mertuaku. Lupa cerita, Yogi berdarah Kalimantan, Bali, Jawa. Perilmuan supranatural hal yang biasa di rumahnya. Ibunya pun bisa melihat hal-hal gaib yang tak bisa dilihat orang biasa sepertiku. Meski begitu, Yogi dan aku merupakan produk zaman sekarang yang gak repot dengan mistis. 

Assalammualaikum, Yogi mengucapkan salam masuk ke rumah orangtuanya. 

Waalaikumsalam, mertua laki-laki menjawab salam. Bapak mertuaku orangnya lucu. Gemuk dan punya pipi bulat. Dia sayangnya minta ampun padaku, mungkin karena sama-sama orang Jawa. Dari mana ini? Kata bapak mertuaku sambil mengacak-acak rambutku. Ibu mertuaku sedang di kamar mandi.

Saat beliau keluar dan menghampiri kami, mendadak wajah beliau menegang. Tutup pintu rumah. Yogi, tutup sekarang! katanya setengah berteriak. Aku bingung sekaligus bengong. Aku berinisiatif menutupnya tapi dicegah. Jen, menjauh dari pintu. Yogi! Cepat! Suamiku segera menutup pintu.

Ibu, udah malem juga, jangan teriak sih, kata Yogi.

Lu gak tau yang ibu liat dan yang gue liat, mas. Jadi lu diem aja, kata Nita adik iparku menyambar.

Yogi pun diam dan maklum. Nita memang juga bisa melihat mahluk astral. Segera setelah ibu mertua komat-kamit membaca doa, dia menghampiriku. Alhamdulillah, puji Tuhan ya, selamat, katanya. Yah, beginilah kalau punya mertua udah bisa melihat masa depan. Kami belum cerita aja, dia sudah ngerti. 

Eh, kenapa nih? tanya bapak mertua. Aku cuma ngikik. 

Ibu mertua menjelaskan kepada bapak mertua jika aku hamil. Wah, bapak mertua ku langsung memberikan selamat. Disuruhnya Yogi beli martabak untuk merayakan kehamilanku. Beli yang banyak martabaknya. Bapak martabak keju, kamu apa terserah, kata bapak mertua sambil memberi uang ke anaknya. Namun ibu mertua mencegah. 

Besok saja, dia masih ada di sana, ucap ibu mertuaku.

Dia siapa, bu? tanyaku.

Ibu mertua hanya tersenyum di sudut bibir. 

Wanita nomor 13, kata Nita melanjutkan sambil terus memandang ke pintu.

Aku terhenyak, pandang-pandangan dengan Yogi. Yogi sampai memegang kepalanya tanda pusing. Dari cerita Nita, ternyata dari tadi, dia sudah mengintil kami. 

Bapak mertuaku berusaha mencairkan ketegangan yang terjadi. Beliau memang super, lah. Bisa tertawa di tengah suasana mencekam. Bapak mertua menceritakan ulang ketika Yogi masih kecil dan suka buang hajar di celana. Aku terbahak-bahak. Yogi juga. Hanya Nita dan Ibu mertua yang tidak tertawa. Mereka terus memandang ke arah pintu. Kelar bercanda ria, Yogi dan aku pamit tidur. Bapak mengiyakan, sementara ibu memberikan sebuah gelang dari kayu gaharu. 

Pakai ini selama kamu hamil. Jangan dicopot meski mau mandi sekalipun, kata ibu mertua memakaikan gelang itu padaku. Aku mengiyakan. 

Akhirnya kami beranjak ke peraduan. Bersiap untuk tidur. Yogi mematikan lampu sebab tahu, aku tak bisa tidur dengan lampu menyala. Aku pun mulai terlelap. Yogi memelukku erat.

-------------

Entah jam berapa, aku terbangun karena kaca di kamar yogi ada yang mengetuk pelan. Aku merinding lalu terbangun duduk. Ketukan itu tak berbunyi lagi. Aku terus memandangi ke arah kaca. Sekelebat ada bayangan melintas! Ya Tuhan, apa itu? Aku berusaha membangunkan Yogi. F*CK! Yogi tak ada di sampingku! Kemana dia? 

Aku teriak sekencang-kencangnya. YOGI!!!! 

Belum ada yang datang. Aku kembali berteriak-teriak. Pintu kamar terlihat ada yang berusaha membuka dari luar. JEN! JEN! BUKA PINTUNYA! itu suara Yogi. Sial! Aku dikurung di kamar suamiku oleh sesuatu yang tak nampak! YOGI, TOLONG!

JEN! JEN! Yogi tetap berusaha membuka pintu kamar dengan sekasar mungkin.

Dari jendela aku meyaksikan bayangan seseorang. Dia wanita. Rambutnya bob mirip Dora! Mungkinkah wanita dari rumah nomor 13? 

Jantungku berdebar-debar. Kupandangi terus arah jendela. Rambut wanita itu yang tadinya mirip Dora, memanjang dan memanjang, entah sampai semana. Tubuhku tak bisa bergerak. Aku ingat pesan ibu, tetap sebut nama Tuhan dalam hati. Aku pun membaca doa yang kubisa. Dari arah luar suamiku terus berupaya membuka kamar. Mendadak wanita itu menghilang! Di saat yang bersamaan Yogi berhasil membuka pintu kamar. Dia langsung memelukku erat. 

Kamu kenapa? Tanya Yogi padaku. Aku tak bisa bicara. Tubuhku mendingin kayak es. Kulihat di pintu kamar bapak, ibu, dan Nita memandang ke arahku. 

Lancang dia, Yogi. Kita selesaikan saja, ujar Ibu mertuaku kepada Yogi.

Yogi pun menghela nafas panjang. Setelah suasana agak reda, Yogi bicara padaku tentang rencana ibu mertuaku 'mencari perkara' dengan wanita dari rumah nomor 13. 

Ibu yakin itu dia, kata suamiku.

Mas, kamu inget dong pesan ibuku. Kita gak boleh prasangka buruk sama orang. Memang yang kusaksikan bayangan mirip dia tapi bukan berarti itu dia. Kita harus menggunakan asas praduga tak bersalah. Ini bukan hal biasa. Perang ilmu, waelah, mana aku kepikiran. Engga sama sekali. Aku gak punya ilmu apa pun dalam tanda kutip. Keluargaku juga biasa-biasa saja. Udah lah, lupakan, kataku.

Ya udah, kamu sendiri yang bicara sama ibu gih sana. Intinya ibu udah geram banget sama dia. Bertahun-tahun warga sini yang tengah hamil dan baru melahirkan meminta bantuan ibu karena selalu diganggu. Oleh siapa? Dia itu lah orangnya, ujar suamiku berapi-api.

Aku dari SD, Jen. Aku tiap hari melihat orang datang minta bantuan. Kamu kan gak tau peristiwa apa yang sudah dilalui keluargaku. Sekarang menantunya sendiri yang mengalami, masak iya ibu tega ngediemin kamu? Ini gak sekali dua kali, Jen. Sering. Kalau ada orang hamil memang beginilah yang terjadi di komplek ini, kata Yogi.

Aku cuma terdiam. Peristiwa barusan cukup membuat jantungku copot. 

Terserah ibu aja, aku ikut, kataku akhirnya.

Sementara waktu, aku diungsikan oleh ibuku ke Yogyakarta. Hari-hari aku menunggu bayiku besar di Kota Pelajar yang syahdu ini. Yogi sebulan sekali menengokku dan anaknya. Syukurlah, di sini aku tidak mengalami kejadian aneh-aneh. Menurut eyangku, di sini banyak yang 'menjaga', entah apa maksudnya yang jelas memang lebih tentram di Jogja. 

Tibalah saat kelahiran si jabang bayi yang lucu berjenis kelamin lelaki. Alhamdulillah lahir dengan selamat. Aku menunggunya agar usianya satu bulan, baru kembali lagi ke Bekasi, komplek perumahan tempat ayah, ibu, dan mertuaku berada. 

Balik ke komplek ini, yang pertama kali ingin kulihat adalah rumah nomor 13. Rumah tersebut sudah hancur dan tinggal puing setinggi paha orang dewasa. Kemana wanita di situ, ya? Entahlah, aku tak ingin kepo berlebihan. Yang jelas, hawa di sana jadi lebih baik semenjak dia tak ada. 
 

(Seperti diceritakan Jen kepada GenPI.co)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ardini Maharani Dwi Setyarini

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co