GenPI.co - UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019 mengungkap, fashion adalah industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan.
Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fashion.
Bahkan, jumlah emisi karbon dari industri fashion lebih besar daripada total emisi yang dihasilkan dari gabungan industri jasa pengiriman dan penerbangan.
Ini berarti industri fashion berperan besar dalam mendorong terjadinya perubahan iklim.
Karena itu, dengan tujuan untuk melibatkan mereka dalam aksi memperlambat perubahan iklim melalui tindakan nyata yang sederhana, pada 2020 The Partnership for Governance Reform atau yang biasa disebut KEMITRAAN menggagas gerakan Generasi Nol Emisi.
“Kecenderungan generasi muda mengonsumsi fast fashion kemudian mendorong Generasi Nol Emisi meluncurkan kampanye #MakinBelelMakinNyaman melalui media sosial pada awal 2022,” kata Dewi Rizki, Program Director for Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN dalam keterangan resminya, Minggu (10/4).
Di bawah ini terdapat 5 fakta penting tentang limbah fashion. Apa saja?
Dewi menyebutkan, limbah fashion terdiri dari berbagai bentuk, di antaranya limbah cairan. Dua puluh persen limbah cairan di dunia berasal dari industri fashion.
Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia, karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan dan sungai.
Padahal, limbah ini mengandung zat-zat sisa pewarna kimia sintetis yang berbahaya bagi lingkungan.
Limbah fashion juga bisa berupa sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang kita buang, seperti yang dilihat oleh Dinda.
Masalahnya, sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami. Contohnya, polyester dan nilon, yang membutuhkan waktu antara 20 - 200 tahun hingga bisa terurai.
Meski begitu, ada juga pakaian dari bahan kain bisa terurai secara alami, misalnya katun, terutama yang 100 persen. Katun bisa terurai dalam hitungan minggu hingga 5 bulan, sedangkan bahan linen bisa terurai dalam dua minggu.
Dewi menjelaskan, emisi karbon yang sangat besar dari industri fashion terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fashion dan siklus produk. Tetapi, 70% emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.
Tak hanya itu, dampak fashion terhadap krisis iklim antara lain juga terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.
“Hasil pencucian pakaian dari bahan sintetis dalam setiap beban pencucian akan menghasilkan lebih dari tujuh ratus ribu serat mikroplastik, yang akan langsung mengalir ke pembuangan air dan bermuara di laut,” kata Dewi.
Dari tahun ke tahun konsumsi produk pakaian terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah budaya fast fashion yang memproduksi berbagai model dalam waktu sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang buruk dan murah.
“Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut,” kata Dewi.
Dahulu rata-rata brand merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin.
Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada brand global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, ada yang mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.
Karena memahami ancaman di balik fast fashion, Dinda selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting, tak pernah ketinggalan zaman. Misalnya, blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa pun.
Dinda mengakui, dulu dia bisa belanja baju baru setiap hari. Meskipun, pada akhirnya baju itu hanya terpakai satu-dua kali saja, lalu tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi.
Hingga suatu ketika, ia merasa kamarnya terasa begitu sesak oleh dua lemari besar yang penuh sekali berisi baju, dan baju barunya tidak cukup lagi disimpan dalam lemari tersebut.
“Ketika itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju. Belum tentu setiap satu-dua bulan saya beli baju,” kata Dinda, yang mengajukan diri untuk jadi duta kampanye #GenerasiNolEmisi di media sosial.
Dinda mengamati, dari lingkungan teman-temannya saja, kebiasaan belanja baju luar biasa tinggi. Misalnya, temannya sengaja beli baju baru demi acara makan malam.
Padahal, koleksi bajunya sudah sangat banyak dan ia hanya akan memakainya satu kali itu saja. Karena itu, Dinda menyarankan untuk pakai baju yang sudah dimiliki.
Selain mengurangi belanja produk fashion, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk meminimalkan limbah fashion.
Yang paling sederhana adalah mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan.
Karena koleksi bajunya sudah begitu banyak, Dinda mempunyai ide untuk mengajak teman-temannya mengadakan garage sale. Setengah dari hasil penjualan didonasikan kepada orang yang memerlukan.
Dan, rupanya, pakaian tak terpakai di rumahnya bukan hanya milik dia sendiri, melainkan juga milik ibunya.
Jika sangat perlu belanja baju, Dewi menyarankan agar Anda memastikan semua diproses secara bertanggung jawab.
Antara lain, memastikan pakaian tersebut diproses secara berkelanjutan, misalnya memakai bahan daur ulang, dan dibuat dari bahan yang tahan lama.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News