Pidato Nadiem Bikin Merinding, Curhatan Honorer K2 Ngenes Banget

25 November 2019 12:25

GenPI.co - Sebagai guru honorer K2, tiap tahun Titi Purwaningsih ikut merayakan Hari Guru Nasional termasuk HGN tahun ini. 

Kendati terus bersemangat ketika berbaris di lapangan mengikuti upacara peringatan HGN, tetapi hatinya terasa hancur memgikuti kondisi statusnya yang tak jelas.

BACA JUGA: Pak Jokowi Tahu Nggak, Ada Mahar Rp 500 M untuk Jadi Menteri?

Padahal selama 15 tahun mengabdi sebagai guru honorer, dia tidak merasakan kesejahteraan sebagai tenaga pendidik. 

Bayangkan saja, dari honor Rp 75 ribu per bulan, kemudian naik menjadi Rp 150 ribu terus bertambah lagi ke angka Rp 300 ribu per bulan. 

BACA JUGA: Ambisi Politik 2024, Gubernur Anies Dicurigai Manfaatkan APBD DKI

Itupun harus menunggu tiga bulan untuk bisa menikmati gajinya tersebut.

Titi Purwaningsih hingga kini bekerja sebagai wali kelas VI di salah satu SDN Kabupaten Banjarnegara.

BACA JUGA: Bandul Politik 2024, Sudah Waktunya Tokoh Sunda Pimpin Indonesia

Di tengah keterbatasan honor yang ia terima, Titi menanggung beban besar. Selain bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar, juga dibebani pekerjaan administrasi.

Namun, itu tetap dilakoninya dengan harapan suatu saat akan diangkat menjadi PNS. Seperti janji-janji awal mereka direkrut akan dijadikan PNS.

BACA JUGA: Aura Prabowo Subianto Bak Magnet, Seluruh Dunia Jadi Respek

"Dulu kan yang honorer otomatis jadi PNS. Makanya saya dan teman-teman mau saja jadi guru honorer belasan tahun," kata Titi kepada JPNN.com, Senin (25/11).

Ketua Umum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) ini mengaku, sebagai manusia biasa terkadang ingin menyerah pada keadaan.

BACA JUGA: Pidato Mas Nadiem Bikin Merinding, Bagaimana Nasib Guru Honorer?

Tidak berjuang dan memilih berhenti jadi guru honorer. 

Namun, rasa itu kalah manakala melihat wajah-wajah polos para siswanya.

BACA JUGA: Intelijen TNI Tangkap 3 WNA Cina di Papua, Ada Apa?

"Saya kasihan melihat mereka. Kalau bukan kami, siapa lagi yang mau mengajar di desa. Di sekolah saya ini, lebih banyak honorernya daripada PNS," ucapnya.

Perasaan Titi pun semakin tercabik-cabik dan mengaku berduka melihat ketidakadilan yang dipertontonkan pemerintah. 

Salah satunya lewat pembiayaan kartu pra-kerja. Lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi diberikan dana pelatihan serta insentif bulanan Rp 500 ribu per orang. 

Nilai yang cukup besar bagi seorang pengangguran.

"Saya tidak habis pikir mengapa pemerintah lebih menghargai pengangguran daripada kami. Kami yang mengajar setiap hari malah ditelantarkan dengan alasan tidak ada regulasi. Lah, kenapa untuk pra-kerja dibuatkan regulasi," kritiknya.

Kritikan juga disampaikan Nur Baitih. Guru honorer K2 di DKI Jakarta ini memang sudah menerima gaji Rp 3,8 juta per bulan. 

Namun, setiap tahunnya mereka harus menghadapi serentetan ujian.

Yang lulus tes, bisa tetap bekerja dan menerima gaji Rp 3.8 juta. 

Sebaliknya, bila tidak lulus haknya dicabut.

"Gaji kami (guru honorer di DKI Jakarta, red) memang lebih tinggi dibandingkan daerah lain, tetapi kami tiap tahun selalu waswas," ujar Nur yang juga Korwil PHK2I DKI Jakarta.

Baik Titi maupun Nur berharap, ada kebijakan pemerintah yang memihak kepada guru. 

Guru bukan hanya PNS. Masih banyak guru honorer yang hidupnya jauh di bawah sejahtera.

"Jangan ingat kami di Hari Guru saja. Ingatlah kami setiap waktu. Pemerintah selalu menuntut guru harus berkompetensi tinggi sementara ruang pelatihan bagi kami dibatasi. Guru dituntut fokus mengajar, sementara kesejahteraan kami tidak dipikirkan pemerintah," seru Titi.

Dia berharap, pemerintah tidak sekadar beretorika menciptakan SDM unggul. Sebab, sampai saat ini guru yang menjadi kunci dari pendidikan di Indonesia malah dikesampingkan.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Tommy Ardyan

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co