Pacarku Telah Pergi, Tapi Sukmanya Mengajakku Terus Bercumbu...

13 Februari 2020 18:18

GenPI.co - "Andi, kalau memang tidak ada yang sangat urgen untuk dikerjakan, kurangi jam lembur, ya," tegur Pak Herman, kepala HRD yang lewat ruangan kantorku ketika hendak pulang.

"Tenang, Pak. Kelebihan waktu kerja yang saya jalani tidak saya masukkan di jam kerja, kok. Saya juga sudah absen pulang, 2 jam yang lalu," jawabku, berusaha sekuat tenaga agar tidak terdengar sinis.

BACA JUGA: Virus Corona Makin Ganas, Ribuan Burung Gagak Serbu Kota Wuhan

"Maaf. Bapak hanya menjalankan amanat dari atasan," katanya sambil berlalu.

"Itu urusanmu, Pak," bisikku lirih. Lebih ke menghibur diri.

Fuiih… sudah lebih dari sebulan aku seperti orang yang kehilangan arah. 

BACA JUGA: Jangan Mengusiknya... 4 Zodiak Ini Emosinya Bisa Meledak

Lebih memilih menenggelamkan diri pada kerjaan, bahkan dengan sukarela mengerjakan pekerjaan lebih tanpa dihitung lemburan.

Karena memang bukan uang yang sejatinya kuinginkan, tapi lebih pada pengalihan pikiran. 

Gaji yang kudapatkan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan.

BACA JUGA: Dunia Bingung Tak Ada Virus Corona di Indonesia, Ini Sebabnya...

Aku masih ingin di sini. Berkutat dengan keyboard dan layar yang menyala satu-satunya di kantor yang sudah sunyi ini. 

Aku enggan pulang. Tapi badanku sudah memberiku sinyal. 

Dia merasa penat. Dia menuntut hak-nya untuk beristirahat.

Aku harus pulang.

Aku sudah menduganya. Dia pasti ada di sana. Menungguku. 

BACA JUGA: Aku Milikmu Malam Ini, Tapi Bukan untuk Besok...

Kembali meminta penjelasan atas akhir dari hubungan kami. 

Yang bahkan aku sendiri sudah bosan menceritakannya.

Dia yang membuatku, bahkan malas untuk menginjakkan kaki di rumahku sendiri.

BACA JUGA: Guru Honorer Digaji dari Dana BOS, Ini Kata Mendikbud...

"Kau menghindariku?" sambutnya, masih dalam duduknya di kursi terasku.

Aku menatapnya sejenak. Iba. 

Setengah dari diriku menginginkan untuk memeluknya. 

Mendekapnya dengan penuh kasih, seperti dulu. 

BACA JUGA: Aturan Baru Dana BOS, Buah Simalakama Kepala Sekolah...

Tapi setengah yang lain memaksaku untuk tak melakukannya. 

Mendorong mulutku untuk malah berkata keji.

"Itu hanya perasaanmu, Dit," jawabku, sambil duduk di kursi satunya. 

Memandang jalanan yang bahkan sudah lengang padahal baru jam delapan lebih.

"Itu analisaku, Ndi. Setahuku kau orang yang paling berdisiplin dengan waktu. Aku tak yakin bahwa ada kerjaan yang tak bisa kau taklukkan sebelum waktunya sampai harus selalu pulang larut belakangan ini," ujarnya menghujam.

"Aku memang sibuk, koq," kilahku.

"Sibuk menghindariku, maksudnya?" cecarnya, memandangku dengan tatapan dingin.

"Demi apa aku menghindarimu, Dit? Aku bahkan tak pernah punya alasan untuk itu," kilahku.

"Apakah salah, Ndi, kalau aku masih ingin menjalani kisah yang kita punya? Atau kalau memang aku sudah tak memiliki kesempatan itu, setidaknya beri aku alasan. Aku juga ingin tenang, Ndi," katanya. 

Tatapannya yang tadi dingin, berubah menjadi sayu. Tatapan meminta jawaban.

Dit, kau menyiksaku.

"Haruskah aku terus mengulang penjelasan yang sama, Dit? Kalau kau tanyakan soal cinta padaku, kau sudah sepenuhnya tahu jawabanku,"

"Bahwa cintaku padamu memang tak akan pernah terkikis oleh apapun. Tapi kita juga harus nalar, Dit. Perbedaan yang kita miliki sekarang terlalu jauh."

"Kamu tidak bisa terus begini, aku juga tidak bisa seperti orang gila seperti ini selamanya, Dit."

"Tolong, Dit… tolong mengertilah”, jawabku. 

Menghela napas, memandangnya tanpa tangis meski dada terasa perih. Semuanya dingin.

"Tapi, Ndi…"

"Pulanglah, Dit. Tolong. Aku butuh istirahat. Aku butuh tenang. Aku butuh sendiri," potongku, enggan melanjutkan diskusi tanpa ujung ini.

Hening di antara kami. 

Hawa dingin yang menusuk tidak bisa kuusir, bahkan dengan jaket yang masih menempel di badanku.

Sunyi yang menghujam.

"Ini malam terakhir aku menanyakan segalanya padamu. Jika memang benar kau masih cinta padaku, datang ke tempatku besok. Kutunggu kau dengan jawab dan hatiku," Adit memecah kesunyian. 

Berdiri, memandangku sekejap, lalu berlalu meninggalkanku.

Aku memandangnya pergi.

Aku masuk rumah setelah dia tak terlihat lagi. 

Luka yang dari kemarin kujaga, kembali tertoreh. Aku menangis dalam diam.

"Pak, saya minta ijin untuk pulang lebih awal dari jam kerja. Boleh?" tanyaku pada Pak Herman, jam tiga sore waktu itu.

"Tumben minta pulang awal. Biasanya pulang lambat?" dia membalas tanya.

"Pekerjaan saya sudah selesai semua, Pak. Daripada saya hanya bengong mainan komputer, sibuk dengan media sosial. Bukankah itu boros listrik dan boros kuota tanpa membawa guna?" jawabku sekenanya.

"Tidak perlu sinis begitu, Ndi. Silakan kalau begitu," katanya.

"Terima kasih, Pak," kataku sambil berlalu meninggalkan ruangan HRD. Berkemas dengan peralatan kerjaku, lalu pergi.

"Dit, aku datang sesuai dengan permintaanmu semalam. Semoga ini bisa meyakinkanmu bahwa apa yang menjadi keputusanku adalah memang yang terbaik untuk kita berdua. Untukku dan untukmu. Bahkan untuk semuanya,"

"Jika memang ada luka yang tak bisa disembuhkan, maka kita sama-sama tahu bahwa luka itu adalah perpisahan kita, Dit."

"Sungguh. Tak perlu kuuraikan panjang lebar pun kau tahu bahwa kau satu-satunya orang yang bisa membuatku jatuh cinta. Bahkan sampai saat ini,"

"Tapi… jalan kita sekarang memang terlalu berbeda, Dit. Dengan cara apapun, itu adalah salah."

"Salah bagimu, apalagi bagiku. Jurang perbedaan antara kita sekarang terlalu menganga, Dit. Pahamilah."

"Bantu aku untuk ikhlas dengan semua ini,"

Aku diam sejenak. Menekan dada, berharap bisa membantu meringankan perihnya. 

Aku tak menunggu jawaban Adit, pun tak mengharapkannya.

"Dan aku benar-benar berharap, meski ini menyakitkan, tapi aku mohon, setelah ini, jangan kau datangi aku lagi, Dit."

"Karena kau harus tahu, setiap kedatanganmu hanya membasuh luka yang masih sangat berusaha kusembuhkan."

"Aku tahu kau mendengarnya, dan semoga kau bisa memenuhi permintaanku, permintaan terakhirku,"

Tangis yang sedari tadi kutahan, tumpah sudah. 

Perih yang kurasa makin menganga. Tapi nyatanya aku memang harus mengakhiri semua ini.

Kutaburkan bunga yang kubawa, di atas pusara itu. Hari ini tepat 40 hari Adit pergi.

"Semoga kau tenang disana, Dit," pamitku.

Mengusap nisan kayu bertuliskan nama kekasihku, dulu, sebelum akhirnya aku pergi berlalu.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Tommy Ardyan Reporter: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co