Pulau Bangka: Menawan Penuh Kenangan

12 April 2018 00:12

Mendengar kata Babel, singkatan dari Bangka Belitung,  yang terbayang adalah deretan pantai berpasir putih, air laut yang berwarna biru dan tosca serta batuan granit yang besar menawan. Melihat sisi lain keindahan Pulau Bangka sungguh menarik. Membuat saya ingin berlama-lama tinggal disana.

Lega rasanya ketika roda-roda pesawat yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara Depati Amir. Saya terbang dari Jogja, lalu singgah sebentar  di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II untuk transit. Sudah terbayang indahnya pulau yang katanya eksotis ini pada saat saya melangkah turun dari badan pesawat.

Kesan pertama begitu menyenangkan, lantaran mas driver menyambut saya dengan senyum manis. Ia kemudian mengantar saya menuju Sungailiat, di sebuah guest house bernama Sutos. Belakangan saya baru tahu kalau Sutos itu akronim untuk Sungailiat Town Square. Itu tempat singgah sederhana dan cukup murah dengan adanya fasilitas AC, kamar mandi dalam dan saluran televisi meskipun hanya beberapa yang terlihat jernih. Cukup membayar 200ribu/malam, saya sudah bisa menikmati layanan yang murah merah ini.

Sore itu, sinar mentari sudah tak mampu mencapai bumi. Langit terutup awan. Bahkan beberapa lokasi di Sungailiat sudah basah oleh hujan.  Beruntung, tak sampai sejam hujan sudah mereda. Digantikan oleh semburat jingga yang menggugah hasrat mengeluarkan kamera. Tongaci, nama sebuah pantai di Sungaliat yang cukup terkenal, hanya berjarak kurang dari 3km dari Sutos Guest House. Saya pun bergegas mencapai tempat itu agar tak melewatkan momen sunset yang pastinya sangat memukau. Kala itu, pantai Tongaci sedang ramai-ramainya. Maklum saja, gelaran Bangka Culture Festival 2018 menjadi magnet bagi banyak orang untuk memadatai kawasan pantai berpasir halus itu.

Harapan saya menikmati sunset menjadi pupus di Pantai Tongaci. Itu karena Pantai ini menghadap ke timur sehingga tidak akan ada foto sunset di sana. Namun kekecewaan saya tidak berlangsung lama. Bangka Culture Festival segera membuat saya larut dalam kemeriahannya. Banyak pemadangan menarik di gelaran itu.  Body painting dengan model-model cantik, instalasi seni berupa payung warna-warni, dan berbagai patung menghiasi keseluruhan venue di pinggiran pantai. Semuanya itu mengobati kekesalan karena kesalahan sendiri yang kurang referensi atas pantai Tongci.

Ketika hari baru menjelang, saya sudah siap menjelajah. Pagi-pagi sekali saya bergegas menuju Pantai Penyusuk.  Kawasan itu lokasinya di Belinyu, sisi utara Pulau Bangka. Dari Sungailiat menuju Belinyu cukup jauh. Butuh waktu kurang lebih 2 jam perjalanan mobil. Namun lelah yang saya rasakan hilang lenyap tak berbekas begitu saya sampai di lokasi. Garis horizon yang jauh di sana yang menjadi pembatas langit dan laut sungguh memanjakan mata.

Ketika tiba di Pantai Penyusuk, mentari belum tinggi. Namun sinarnya yang mulai terik sedikit menggangu aktivitas saya usaha saya mengabadikan keindahan alam dalam foto lanskap. Itu membuat saya sadar bahwa waktu paling pas datang ke tempat ini adalah ketika sunrise. Atau, saat mentari sudah berada di sisi barat langit. Meski begitu, saya tetap beraksi dengan kamera, menjejal begitu banyak foto keindahan tempat ini dalam memori kamera saya.

Puas berfoto, sebutir kelapa muda segar melepas dahaga. Kesegarannya membuat tenggorokan tak lagi meronta kehausan. Sesaat kemudian saya memutuskan untuk meninggalkan pantai itu dengan meyusuri jalanan yang ditumbuhi ilalang. Deretan pohon cengkeh yang tumbuh tak jauh dari pantai kembali menggugah insting fotografi. Warnanya yang abu lantaran telah kering meranggas tampak kontras dengan hamparan ilalang hijau berpucuk putih di sekitarnya. Dengan mata mengintip di balik jendela bidik, saya kembali beraksi mengabadikan obyek itu dalam sebuah seni foto.

Eksotisme alam bukan satu-satunya keindahan yang disuguhkan di Belinyu ini.  Di pusat kecamatan terderet beberapa bangunan tua khas pecinan. Belinyu memang didominasi  masyarakat Tionghoa. Di tempat itu  saya sempat berhenti sejenak untuk mengambil beberapa foto. Ingin rasanya sejenak bersilaturahmi dan berbincang santai dengan salah satu penghuni rumah.  Namun mereka tampaknya sedang beristirahat siang sehingga niat itu pun saya urungkan. 

Pantai Tikus adalah tujuan saya selanjutnya. Lokasinya seraha dengan perjalanan pulang ke Sungailiat. Entah kenapa temapt ini dinamai pantai Tikus.  Dari kisah masyarakat setempat, saya mengetahui dahulu kala banyak penyelundup timah melewati pantai ini dikarenakan banyak sekali jalan tikus yang aman untuk beroperasi. Mitos angker yang terdengar semata-mata untuk memuluskan jalan para penyelundup agar tidak diketahui masyarakat.

Di sekitar pantai ini ada sebuah pagoda vihara. Bangunan tempat ibadah itu merupakan pagoda terbesar di pulau Bangka. Pagoda vihara yang bernama Puri Tri Agung ini seolah berdiri menantangi Pantai Tikus. Tampil dengan megah baik di dalam maupun luar, Vihara ini  tak hanya dikunjungi oleh mereka yang mau berdoa saja. Banyak juga wisatawan yang penasaran dengan keindahan arsitekturnya.

Berbeda dengan pantai Penyusuk, di Pantai Tikus ini tidak tampak satupun pedagang.  Jadi alangkah menyiapkan bekal makanan dan minuman jika ingin mengunjungi tempat  ini. Menaiki punggung sebongkah batu granit besar di sisi tengah bibir pantai,  pemandangan keseluruhan pantai akan tersaji. Hamparan pasir putihnya yang luas serta biru kehijauan air laut mengundang hasrat untuk merasakan kesegarannya. Namun  sayang sekali, satu-satunya pakaian adalah yang melekat di tubuh. Tak ada baju ganti.  Lepas dari itu, hati sudah sudah sangat terpuaskan oleh landscape fotografi yang saya dapatkan di pantai yang sangat eksotis ini.

Ingin rasanya berlama-lama di tempat ini. Menikmati eksotismenya yang sungguh menggelorakan hati. Namun apadaya, saya harus segera melaju ke Bandara Depati Amir.  Sore itu saya harus ikut penerbangan pulang menuju Jogja.

Saat perjalanan pulang, saya kembali terhanyut oleh keindahan sisi lain Bangka. Sebuah jembatan yang menghubungkan Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka membuat saya berhenti sejenak. Kembali kamera saya menjalankan fungsinya, mengabadikan sisi Bangka dari atas jembatan tersebut.

Bangunan konstruksi penghubung dua tempat itu dinamakan jembatan EMAS. Mulanya saya berpikir bahwa nama jembatan ini diambil dari komoditas tambang emas di Bangka. Ternyata saya salah.  Nama EMAS diambil dari singkatan Eko Maulana Ali Soeharso, nama mantan Gubernur Bangka Belitung. Jembatan itu memiliki panjang 785 meter dengan lebar 23 meter. Ia membentang di atas aliran Sungai Pangkal Balam, wilayah Ketapang, Pangkalpinang. Jembatan ini akan membuka tutup jika ada lalu lintas kapal besar yang melewati sungai Pangkal Balam. Indah sekali untuk diabadikan. Dari atas jembatan ini pemandangan keindahan alam pantai Air Anyir dapat dinikmati. Jembatan yang menjadi ikon baru di pulau Bangka ini menjadi kebanggaan warga masyarakat disana.

Tak lengkap rasanya mengunjungi suatu daerah tanpa membeli oleh-oleh khas disana. Kerupuk kemplang dan kerupuk siput jari menjadi pilihan saya sebagai oleh-oleh kuliner. Juga beberapa gantungan kunci yang terbuat dari timah, suatu yang sangat khas dari Pulau Bangka.  Waktu pun beranjak sore, dan aku bergegas menuju bandara Depati Amir untukmengejar keberangkatan.

Perjalanan ini sungguh memberi pengalaman baru. Saya pun memutuskan akan kembali lagi kali lain. Menikmati keindahan yang belum sepenuhnya tersusuri. Terimakasih Bangka, nantikan aku kembali.

 

 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co