Cerita Horor: Maafkan Aku Anakku, Jangan Mengganggu Hidupku

04 Juni 2020 07:21

GenPI.co - Aku masih tidak mengerti mengapa rasa bersalah ini begitu melekat, hingga membuat otakku nyaris gila dibuatnya. Setelah kejadian 2 tahun lalu, tidak ada hentinya ia terus menghampiriku seakan meminta perhatian dari manusia.

BACA JUGA: Meski Terlihat Jutek, 3 Zodiak Ini Justru Bikin Pria Lengket

Berbagai cara sudah aku lakukan untuk melupakannya. Namun, tidak satupun berhasil. 

Rasa bersalah ini makin terus memuncak bila aku sedang sendirian di apartemen. Tidak jarang aku ingin melakukan aksi bunuh diri dengan melompat dari balkon lantai 18 kamarku. 

Aku ingin berhenti diganggu olehnya, tolong berhenti mengikuti aku, aku mencintainya tapi ini bukan salahku.

Dua tahun Silam

Namaku Melisa, aku adalah seorang yatim piatu yang tinggal di Ibu Kota sendirian. Aku tidak terlahir dari keluarga kaya raya. Tapi tempat yang aku tinggali saat ini merupakan milik tanteku. 

Meski begitu, tanteku jarang pulang ke Indonesia karena memiliki suami seorang bule.

Sering merasa kesepian di apartemen, membuat aku sering membawa kekasihku untuk datang dan menginap. Namanya adalah Khafi pemilik wajah yang manis ini membuat aku jatuh cinta sejak 6 bulan aku pindah ke apartemen ini. 

BACA JUGA: 3 Buah Rasa Manis Ini Mampu Taklukkan Asam Urat

Ia merupakan tetanggaku di tower sebelah, sehingga saat masa pendekatan tidak sulit untuk memiliki waktu bertemu.

Tidak hanya wajahnya yang menawan, tapi perkataanya begitu manis sehingga sering kali membuat aku hanyut dalam rayunya. 

Sepulang kuliah ia mengundangku untuk datang ke kamarnya, karena mungkin sudah bosan dengan ruanganku sehingga mencari suasana baru. Akupun memasuki kamarnya, seperti kamar pria pada umumnya berantakan dan bercampur aroma alkohol. 

Mengetahui hal tersebut aku tidak terlalu terkejut, karena memang memahami ia adalah seorang peminum berat.

BACA JUGA: Amerika Serikat Porak-poranda, Presiden Trump Sembunyi di Bungker

Terbuai dengan suasana, aku pun dibuat mabuk asmara malam itu bersama dengannya. Malam itu berlalu, pagi hari pun menjelang. Aku segera pulang dan bersiap untuk pergi kuliah. 

Sesampainya di kampus aku merasa tidak enak badan, aku merasa kepalaku pusing hingga tidak fokus lagi dalam kelas dan memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Aku meminta Khafi untuk menjagaku.

"Sayang aku pulang," ucap Khafi sambil memasuki pintu kamar studio apartemenku.

"Kamu lapar nggak? aku lagi masak ramen nih kalo kamu mau biar sekalian," ucapku sambil sibuk memasak

"Duh Mel, memang kamu tuh calon istri idaman," kata Khafi sambil memelukku dari belakang.

"Sayang, aku punya berita baik!" ucapku sambil menghadap dirinya dan membalas pelukannya.

"Apa sih berita baiknya yang lebih baik dari miliki kamu?" tanya lembut Khafi berbisik ditelingaku.

"Miliki anak dari aku," jawabku sambil semakin erat memeluk Khafi.

"Haha, i hope so honey," balas Khafi

"Harapanmu sudah terwujud, Taraaaaaa..." ucapku dengan wajah gembira menunjukkan hasil tes kehamilan.

"Apa? nggak ini nggak bisa Mel, kamu harus gugurin ini anak aku nggak mau tahu, kalau nggak kita putus," ancam Khafi sambil memegang erat tanganku.

Mendengar hal tersebut membuat aku habis akal tidak dapat mengontrol emosiku hingga akhirnya aku menusuk Khafi dengan pisau yang ada disampingku. 

Luka tusukan tersebut membuat Khafi kehabisan banyak darah, hingga segera dilarikan ke rumah sakit dekat apartemen kami.

Tidak ada lagi yang dapat bertanggung jawab atas diriku, aku merasa malu harus mengaku senang dengan adanya jabang bayi ini. 

Aku merasa takut juga bingung hingga membuat aku akhirnya memutuskan untuk mengugurkan anak ini. Aku pergi ke seorang dukun beranak dan melakukan aborsi. Rasa sakitnya benar-benar tidak bisa dilupakan.

Setelah melakukan hal tersebut aku tidak dapat tenang lagi menjalani hidup, aku sering kali merasa takut sendirian. 

Tidak jarang aku mendengar suara tangisan bayi, suara langkah berlari, hingga perutku terasa seperti ada yang menyentuh dengan tangan ukuran kecil.

Semakin aku mencoba memberanikan diri bahwa hal tersebut hanyalah halusinasi. Maka, semakin jelas terdengar dan terasa. 

Hal yang menjadi puncak rasa bersalahku adalah saat aku terbangun dan melihat seorang bayi penuh darah berada disampingku menangis dengan kencang. 

Terkejutku sangat dibuatnya, membuat aku pergi ke balkon apartemen guna menenangkan diri.

Terus merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan pada diriku dan calon buah hati. Membuat aku takut untuk bertemu dengan orang banyak tak terkecuali menemui Khafi kembali. 

Setelah ia sadar dari koma, kami mengakhiri hubungan dan aku menganggap tidak pernah mengenal ia sebelumnya.

Aku pun tinggal seorang diri kembali, berharap penampakan bayi ini tidak terus menerus mencuri hidupku. Maafkan aku anakku.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co