Darahku Mendidih di Era Pandemi Corona, Anakku Ternyata… 

13 Agustus 2020 01:52

GenPI.co - Sudah enam bulan berlalu, wabah corona yang memuakkan ini tak kunjung usai. Setiap manusia di manapun di bawah kolong langit harus beradaptasi dengan kenormalan baru dan segala tetek bengeknya. 

Hari ini mungkin sama saja seperti kemarin dan esok. Setiap insan mengais nafkah sembari cemas virus-virus jahat itu mencapai hidung mereka.

Namun bagiku, hari ini istimewa. Sebab sekarang adalah jatahku menikmati libur dari dari rutinitas pekerjaan. Tak seperti pegawai kantoran lain yang mendapatkan liburan di akhir pekan, aku harus menerima kenyataan bahwa jatah liburan mingguanku sebagian besar jatuh pada hari reguler. Tak apa lah, setidaknya masih bisa menikmati libur. 

Karena tidak sedang bekerja, aku memutuskan untuk mendampingi anak sulungku yang sekolah dari rumah. Aktivitas tersebut menjadi kegiatanku mengisi liburan belakangan ini. Sementara bila aku sedang bekerja, anakku menjalankan aktivitas belajar dengan didampingi ibunya. 

BACA JUGA: Kasihku pada Wendy Melampaui Waktu

Si Kakak -begitu kami memanggilnya- baru kelas satu sekolah dasar. Ia masih belajar mengenal huruf, mengeja hingga menyusun kata-kata. 

Padahal saat di taman kanak-kanak dulu, si Kakak  sudah dikenalkan dengan huruf hingga kata-kata sederhana. Namun entah kenapa, ilmu itu hilang tak berbekas saat ia naik ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Terpaksa, urusan baca-membaca itu harus dimulai dari yang paling dasar lagi. 

Karena pemerintah tidak membolehkan, sekolah tidak mengadakan tatap muka selama pandemi ini. Sejak dimulainya tahun ajaran baru, segala proses itu dilakukan secara daring. 

Mendampingi anak kelas satu yang belum lancar membaca dalam setiap pelajarannya adalah pekerjaan paling sulit yang pernah kulakukan seumur hidup. Rasanya melelahkan sekali! Aku lebih memilih menyelesaikan pekerjaan kantor dengan volume dua kali dari biasanya ketimbang menangani bocah ini. 

Banyak sekali drama yang terjadi, yang membuat urat leher menegang karena emosi yang membuncah. Keengganan si Kakak mengerjakan tugas sekolah sering kali berujung kemarahan lalu tangisan. Dan, hal tersebut terjadi setiap hari! Rasanya sejak si Kakak mulai bersekolah, hidup tak pernah lagi senyaman sebelumnya. 

Di media sosial aku kerap kali menemukan curhatan orang tua yang putus asa mengajar anak mereka. Rata-rata mereka mengaku kerepotan. Alasan para orang tua ini, mereka tidak memiliki kemampuan mengajar seperti guru-guru di sekolah. 

Belum lagi aktivitas itu harus disambi dengan rutinitas harian lainnya. Semua kesulitan itu membuat banyak yang meminta sekolah dibuka saja, tentunya dengan protokol kesehatan yang superketat. 

Aku memahami dan mengalami sendiri apa yang dikeluhkan  tersebut. Memang benar, mendampingi anak belajar bukanlah perkara mudah. Hari ini saja, entah berapa kali amarahku meledak tak tertahankan lantaran Si Kakak susah sekali untuk diajak fokus. Belum lagi ia belum paham betul perintah-perintah yang diberikan. 

"Kakak, ayo dieja huruf-hurufnya. Kamu jangan menebak tulisan. Baca yang benar!" Demikian pintahku acapkali. 

"Nggak!"

"Ayo dibaca. Kamu mau dijewer?"

Seperti biasa, kalau sudah begini, si Kakak akan diam seribu bahasa sambil menunjukkan wajah membatu, persis patung Gupala. 

BACA JUGA: Ratni Mempertahankan Kehormatannya

Sikap resisten si Kakak selalu sukses bikin darahku mendidih. Karena sesungguhnya,  aku khawatir ia akan ketinggalan pelajaran dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. 

Sebagai orang tua, aku merasa bertanggung jawab terhadap berkembangnya kemampuan anakku dalam menyerap pelajaran. Lalu aku mulai memarahinya karena tidak menurut saat diajar sembari mendorongnya lebih keras.

Gara-gara ini pula, aku sering bertengkar dengan ibunya. Sebab kami saling mempertanyakan metode ajar yang masing-masing kami terapkan  terhadap anak kami itu. Ya terlalu keras lah, terlalu kaku lah, kurang tegas lah, tidak boleh begini, harusnya begitu, dan sebagainya. 

Tak jarang  pertengkaran itu berlangsung sengit dan diakhiri sumpah serapah pada pandemi corona yang tak kunjung usai. Kemudian karenanya, kami berdua saling tidak bertegur selama satu sampai dua jam sembari mengutuk diri karena merasa gagal mendidik anak.. 

Sementara aku dan istriku saling marah, si Kakak sudah asyik menikmati sisa hari dengan bermain dengan teman sebayanya di luar rumah. 

Kadang terbesit pikiran ini dalam benakku; Jika orang tidak sampai terinfeksi virus corona, kemungkinan ia akan mengalami tekanan batin lalu stres akibat main guru-guruan.

Pun acapkali, aku menyesali segala kemarahan, semua lepas kendali  yang kukeluarkan saat mengajari si Kakak, hingga membuatnya berlinang air mata.. Penyesalan itu membawaku pada satu titik di mana aku menduga anakku akan menyimpan luka di hati karenanya. Maka aku berupaya mendapati memeluk dan membisikkan kata maaf di telinganya. 

"Kakak nggak marah sama ayah? Kan belakangan ini sering banget marahin kakak."

Si Kakak tertegun sebentar, lalu memandangku dengan kedua matanya yang tajam itu. Ada semburan sinar kepolosan di kedalamannya, yang membuat hatiku makin tak keruan. 

"Nggak," jawabnya.

"Kenapa? "

"Namanya juga anak-anak," katanya enteng sembari kembali menekuni  ponselnya. 

BACA JUGA: Njir! Kok Beda Banget Sama yang di Foto?

Pada akhirnya, aku mulai menerima bahwa ini adalah bagian kecil dari dinamika hidup yang kompleks. Sebab tiap generasi memiliki sejarahnya sendiri, masing-masing orang punya cerita hidupnya sendiri. 

Kelak, episode hidup ini akan terus diingat sebagai satu dari sekian  kisah kecil yang akan terus dikenang. Jenis-jenis cerita yang akan dibagikan pada generasi selanjutnya di keluarga ini, diiringi derai tawa karena kepahitan dalamnya telah berubah menjadi kekonyolan.(*) 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co