Aku, Rian, Hujan, dan Kejadian Menyakitkan

06 Februari 2020 18:00

GenPI.co - Hujan turun dengan deras. Kupandangi halaman yang basah dan daun yang menghijau di depan rumahku.

Aku termenung. Kugenggam segelas teh hangat. Nasihat dari teman-teman berkelebat di kepalaku.

BACA JUGA: Bu Risma Sibuk: Kemarin Surabaya Banjir, Kini Ada Gangster

Banyak temanku yang memintaku tidak bermain api. Aku terdiam setiap kali mendengar nasihat dari mereka.

Bermain api apaan? Aku tidak pernah merasa bermain api. Kata bermain api terdengar sangat aneh di telingaku.

Aku sebenarnya selalu berusaha sebisa mungkin membalas nasihat teman-temanku.

Namun, makin sering kubalas, mereka kian beringas mengangsurkan kalimat yang menyudutkan.

“Enggak apa-apa, sih. Main apinya sekarang aja, mumpung masih muda,” kata Alea, salah satu temanku.

Alea tahu betul mengenai kisah asmaraku. Dia sangat paham dengan kepingan-kepingan perasaanku yang hilang.

Hubunganku dengan Rian seolah tidak berujung. Aku mencintainya dengan perasaan sangat kuat.

Dia pun menyambutnya dengan hebat. Namun, jalan yang kami lalui tidak ada ujungnya.

Kalian pasti sudah paham dengan maksudku. Tak perlu kujelaskan panjang sampai berbuih-buih.

Kujelaskan saja tentang Rian. Dia adalah cowok yang bisa menumbuhkan benih cinta di hatiku yang sempat gersang. Awalnya kutepis semua hal mengenai dia.

Aku bertahan dengan karang bernama patah hati di hidupku. Namun, cinta selalu punya jalan sendiri. Dia datang. Aku menghindar. Dia datang lagi. Aku akhirnya jatuh hati.

Teman-teman dekatku, termasuk Alea, sempat heran aku bisa menyambut uluran perasaan yang diberikan Rian. Namun, seiring waktu berjalan, mereka juga sering mengingatkanku.

Itu tadi. Mereka melarangku bermain api. Duhai Pemilik Hidup, berikan penjelasan kepadaku tentang arti bermain api.

“Apa iya aku sedang bermain api? Menyulut api, bahkan punya korek saja tidak. Bagaimana aku bisa bermain api? Apalagi di saat hujan seperti sore ini,” aku berujar lirih.

Alea rupanya mendengar ucapan yang meluncur dari bibirku. Aku masih menunduk.

“Melewati jalan menuju rumah yang berpenghuni itu sudah tercipta sebuah tujuan. Meski jalan itu banyak, meski penghuni rumah itu sedang tidak ada di tempat, dan meski penghuni rumah itu yang mengajakmu masuk,” Alea nyerocos dengan kalimat-kalimat ajaibnya.

Tak kuhiraukan ucapannya. Aku hanya diam. Membisu. Kurasa suaraku masih kalah dengan guyuran hujan. Namun, aku tak sadar suaraku bisa didengar oleh Alea.

“Kamu sedang melewati episode ketiga, episode perluasan cabang,” Alea kembali menyodorkan kalimat yang asing. Entah apa maksudnya.

Dua hari berselang. Aku duduk di tempat berbeda. Di rumah Rian. Kami menikmati hujan.

“Pakailah jaketku. Minumlah. Sepuluh menit lagi mi rebusnya siap,” Rian memakaikan jaket ke tubuhku.

Mata kami beradu. Tatapannya tenang. Ada kesabaran terpancar di wajahnya. Kupandangi lekat-lekat semua tentang Rian. Tuhan, perasaan ini tidak beraturan.

Aroma harum kopi susu itu menari-nari di depan hidungku. Namun, aku masih terdiam. Tak menyentuh kopi, tidak pula pada jaket.

Aku juga tak menaruh harapan pada semangkuk mi rebus yang dijanjikannya. Perlahan kuangkat wajah muramku dan kusunggingkan senyum kecilku.

“Dingin, ya?” tanya Rian.

“Hmm... Masih panas kopinya,” aku masih menggenggamnya, kuletakkan di pangkuanku.

Baru saja ingin kuangkat cangkir itu, tiba tiba tarikan lembut terasa di tangan kananku. Pandangan mataku pun bergeser ke arahnya

“Ke meja makan aja, yuk. Minya udah matang,” Rian menarik tanganku dengan lembut.

Gila. Aku bisa gila dengan semua perlakuannya. Dia bisa menyirami hatiku yang kering. Rian mampu menyambung kembali harapan-harapanku yang sempat terkoyak-koyak.

“Silakan dinikmati, Tuan Putri. Ini spesial buatanku,” suara hangatnya terasa sekali di telingaku.

Rekahan senyumannya pun turut bangga mempersilakanku. Sepertinya aku benar-benar wanita dambaannya. Senyuman kecilku pun perlahan mengembang

“Terima kasih, chef andal,”

“Kok chef, sih? Aku, kan, bukan chef,” nadanya sedikit merendah

“O, iya maaf, mister koki hebat,” kuberikan senyuman terbaikku.

“Lah,” Rian menepuk jidatnya.

“Itu sama saja. Tadi aku kan manggil kamu tuan puteri, berarti aku pangerannya,”

Sesaat setelah kalimat itu meluncur, ponselnya bordering. Wajahku memerah. Aku tak mengerti alasan pastinya. Mungkin saja aku cemburu.

“Tunggu dulu, ya. Aku buka dulu,” pintanya padaku sembari meninggalkan ruang makan.

Aku tak menjawab, hanya menunduk pelan dan berusaha melarikan pandanganku pada sekeliling rumah itu.

Aku berusaha menghapus rona merah di pipi, menstabilkan debaran jantung yang sempat mendadak cepat, dan mempersiapkan senyuman seadanya.

Begitu Rian kembali, aku sama sekali tak menyambutnya. Aku hanya mengutak-atik mangkuk mie di depanku.

“Udah lapar, ya? Mari makan,” ajaknya sambil menaruh ponselnya di meja.

“Hmm… Lumayan. Sekarang boleh makan beneran, Pangeran?” candaku malu-malu menyambung ajakannya

“Ehmmm… I… iya, boleh, ayuk… ayuk” jawabnya terbata-bata.

Entah mengapa dia tiba-tiba gugup di depanku sekarang. Matanya juga tak lagi teduh menatapku.

Dia melahap mi rebusnya begitu cepat. Seperti waktu yang begitu cepat berjalan. Tak ada yang tersisa dalam mangkuknya.

Aku mencoba menawarinya untuk menyantap mi milikku. Namun, dia tidak mengiyakan tawaranku. Menurutnya, lelaki lebih duluan selesai itu biasa.

Setelah tawaranku tak diindahkannya tadi, entah ada apa suasana telah kembali nyaman. Satu demi satu perbincangan kami pun mulai meluas.

Aku belum menghabiskan mi di depanku. Aku masih menikmati kehangatan kuahnya.

“Nikmat! Minya enak, nggak pakai bumbu siap saji sesuai seleraku, Pangeran,”

Melihat senyumannya, aku lahap menghabiskan mi rebusku. Setelah ucapakanku selesai, perbincanganku makin hangat.

Tatapan matanya tak berpindah dariku yang sedang menyantap mi rebusnya.

Karena sedikit gugup dan sembari mengunyah, aku mengaduk mi rebusku. Mendadak aku melihat sesuatu di balik mangkuk beningku.

Makin cepat aku melahap mi jatahku, kian jelas ukiran yang ada di mangkuk itu. Aku makin penasaran.

Sampailah aku di akhir suapan. Tempo makanku mendadak pelan dan tak bernafsu.

“Kenapa nggak dihabisin?” Tanya Rian. Raut mukanya menunjukkan kebingungan.

BACA JUGA: Kisah Mengharukan Dokter yang Tangani Virus Corona

“Iya, aku makan, kok,” aku menghabiskan suapan terakhir. Namun, mataku tertuju lekat-lekat pada tulisan di bawah mangkuk.

Tulisan itu tentang sebuah nama. Nama yang tak akan pernah kulupakan seumur hidhupku. Mira. Nama tunangannya. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng Reporter: Bertin Akbarisa

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co