Suara Musik Dangdut dari Kegelapan Rimba Argopuro

21 Februari 2020 20:00

GenPI.co - Setiap perjalanan, pasti mempunyai kisah. Entah cerita menyenangkan, menyedihkan ataupun menakutkan. Seperti cerita saya bersama kedua teman saat melakukan pendakian ke Gunung Argopuro, Situbondo, tahun 2017 lalu. Banyak hal-hal di luar nalar yang aku alami selama 5 hari pendakian.

Kala itu, yang melakukan pendakian hanya 3 orang. Selain saya kedua teman lainnya yang kerap kusapa sebagai Bang Mikri, dan Bang  Enjo. Dua orang itu adalah senior saya di kampus. Awal mula saya tertarik dengan kegiatan pendakian gunung, bisa dibilang karena mereka.

Gunung Argopuro adalah gunung berapi non-aktif setinggi 3.088 meter mdpl yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia. Gunung ini berada dalam wilayah Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo.

BACA JUGA: Makhluk Tak Kasatmata itu Merasuki Aku, Dari Satu Jadi Seratus

Ada dua jalur pendakian untuk menuju puncak Gunung Argopuro, yaitu Baderan dan Bremi. Kami memilih jalur Baderan, Situbondo dan turun di Bremi, Probolinggo.

Pemilihan jalur Baderan sebagai awal pendakian, karena jalur ini lebih ringan dibandingkan jalur Bremi. Argopuro memang terkenal dengan trek pendakian terpanjang se-Jawa.

Saat baru sampai di basecamp Baderan, kami sudah disambut dengan cerita mistis yang dialami oleh beberapa pendaki yang baru turun dari puncak. Ada yang mengaku  melihat perempuan berbaju putih dengan rambut panjang yang tiba-tiba hilang di antara pepohonan.

Hal mistis lainnya adalah tentang  mata bersinar yang terus mengikuti sekelompok pendaki. Tapi itu tidak mamatahkan semangat kami untuk mendaki Gunung yang terkenal dengan danau Taman Hidup yang sangat indah itu

Kami memulai pendakian jam 8 pagi, pada tanggal 15 juli 2017. Untuk mempersingkat waktu, kami menyewa ojek sampai batas perkebunan warga dan hutan.

Sesampainya batas hutan, kami mulai berjalan menyusuri jalan. Butuh waktu hampir lima jam untuk sampai di pos mata air 1. Karena cuaca yang kurang mendukung dan juga rasa lelah yang sangat terasa, kami memutuskan untuk bermalam di titik itu.

Tenda berhasil didirikan, lalu kami bertiga menuju sungai kecil yang berada tidak jauh dari pos mata air 1, untuk mengisi persediaan air. Saat sampai di sungai, aku merasakan seperti ada yang memantau kami dari gelap dan rimbunnya hutan. Tapi ku acuhkan  saja  perasaan itu, mungkin halusinasi saja.

Setelah selesai mengisi air, kami pun kembali ke tenda untuk mulai memasak. Kegiatan memasak dan makan kami lakukan dalam kondisi gerimis.

Saat malam mulai larut, kami memilih untuk tidur  agar bisa melanjutkan perjalanan esok hari dengan tenaga yang pulih.

Sekitar pukul 9 malam, aku terbangun karena merasa mendengar suara orang berjalan mengelilingi tenda kami sembari menempelkan sesuatu di kain tenda kami  itu.

Jelas saja aku ketakuta,  tapi tetap mencoba  menenangkan diri.  Mungkin saja pendaki lewat yang iseng. Kejadian itu membuat sa tidak bisa tidur berjam-jam lamanya, sampai akhirnya kantuk menyerang  aku  bangun saat pagi sudah datang.

BACA JUGA: Cerita Horor: Tangis Perempuan di Kamar Sebelah

Setelah sarapan dan membereskan tenda, aku dan kedua temanku  memulai pendakian hari ke dua pukul 9 pagi. Target hari ini kami menuju Cikasur dan bermalam di sana.

Perlu waktu yang cukup panjang dan sangat menguras tenaga untuk sampai di Cikasur, yaitu selama 8 jam perjalanan. Sesekali kami berhenti untuk melepaskan lelah dan membuat teh hangat dan memakan beberapa roti. Setelah dirasa cukup untuk istirahat dan tenaga kita sudah kembali lagi, maka perjalanan pun dilanjutkan kembali.

Melewati jalur yang cukup landai dan panjang, akhirnya kami sampai di Cikasur jam 5 sore. Cikasur merupakan hamparan  savana yang datar dan cukup besar untuk mendirikan beberapa tenda. Di sana juga terdapat sebuah bangunan yang sudah tidak digunakan lagi, dan juga terdapat landasan pesawat terbang yang dibangun pada era penjajahan Belanda.

Konon menurut cerita masyarakat sekitar, di Cikasur sering terdengar suara jejak langkah seorang prajurit dari kerajaan Dewi Rengganis.

Malam ini kami beristirahat di Cikasur. Seperti malam sebelumnya, tidur ku tak nyenyak. Kali ini saya terbangun karena mendengar suara teriakan tidak jauh dari tenda. Setelah beberapa lama, teriakan itu tak terdengar lagi.

Tak berapa lama, aku  mendengar orang berjalan, tapi kali ini cukup ramai,  Mungkin sekitar sepuluh orang.Saya tetap berada di dalam tenda, karena kantuk mulai terasa, saya pun kembali tidur. Dalam benakku kelompok itu mungkin saja pendaki lainnya

Pagi harinya, aku  merasa terkejut tidak lama setelah bangun.  Karena ternyata, hanya kami yang mendirikan tenda di situ.

 “Bang, semalem denger orang teriak ndak?” tanyaku pada bang Mikri

Bang Mikri hanya mengangguk, mungkin sebagai isyarat untuk tidak membahasnya sekarang.

BACA JUGA: Cerita Horor: Jimat Pelaris itu Memenjara Jiwa Si Mbah

Kami melanjutkan perjalanan ke pos Rawa Embik. Sesampainya di sana, seperti biasa, kami mendirikan tenda dan memasak untuk mengisi tenaga. Kami bermalam di sini kali ini. Malam ini tidurku lumayan nyenyak, tidak ada kejadian seperti malam kemarin.

Sekitar pukul 8 pagi, kami mulai menuju puncak Gunung Argopuro. Sebelum sampai di Puncak Argopuro, kami menyempatkan untuk menuju Puncak Dewi Rengganis. Di sana terdapat sebuah petilasan yang menjadi latar belakang kisah Dewi Rengganis di Gunung Argopuro.

Puas dengan pemandangan alam dari puncak Rengganis, kami bergegas menuju puncak Argopuro. Gerimis menemani kami menuju puncak.

Tepat pukul 12 siang, akhirnya kami sampai di puncak Argopuro yang sangat cantik. Bahkan, saat kami baru sampai, kami bertiga meneteskan air mata bahagia.

Kami tak menghabiskan banyak waktu di situ. Setelah mengambil beberapa foto, kami bergegas turun menuju ke Danau Taman Hidup. Trek turun menuju Danau Taman Hidup sangat menyiksa kaki kami.  Kanan Bang Enjo sampai  terkilir, sehingga membuat kami seringkali istirahat dan kemalaman di jalan

Karena dirasa Taman hidup masih jauh sementara waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 7 malam, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di dalam hutan. Di sinilah saya mendengar suara musik dangdut yang sangat keras.

“Bang, denger suara dangdut?” tanyaku pelan.

“Denger ndi,” jawab Bang Enjo.

“Gue denger juga,” kata Bang Mikri meyakinkan.

“Sepertinya sudah dekat dengan perumahan warga bang,” Jawabku lagi.

“Kita bermalam di sini aja Ndi, sudah capek,” kata Bang Mikri.

BACA JUGA: Cerita Horor : Sosok Berwajah Terbalik di Foto Reuni SMA Istriku

Kami bertiga akhirnya beristirahat di dalam tenda, diiringi suara musik dangdut yang  semakin keras terdengar telinga. Saya yang penasaran sekaligus senang, karena mengira sudah dekat dengan perumahan warga.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan menuju Danau Taman Hidup. Ternyata jaraknya lumayan jauh, masih sekitar 2 jam perjalanan.

Saat di Taman Hidup, kami bertemu dengan rombongan pendaki yang berasal dari Desa Bermi. Salah satu pendaki menyapa kami dengan pertanyaan yang cukup mengagetkan.

“Semalam dengar suara macan berantem mas?” tanya salah satu pendaki.

“Nggak dengar, cuma dengar suara orang pesta, dangdutan,” jawabku.

“Emang semalam nge-camp di mana?”

“Di hutan lumut mas,” jawabku.

“Oh pantesan, di sana tempatnya mas, rumah hantu,” ucap salah seorang  pendaki itu sambil tertawa.

Saat mendengar penjelasan dari pendaki yang merupakan penduduk di desa bawah itu, kami bertiga langsung saling menatap satu sama lain.

Sekitar jam 5 sore, akhirnya kami sampai di basecamp Bremi. Setelah membersihkan diri dan menyantap makan malam bersama, kami menceritakan apa yang masing-masing selama pendakian.

Pada hari pertama bermalam di pos mata air 1, Bang Mikri menceritakan kalau Ia juga mendengar suara kaki seseorang yang memutari tenda. Tapi dia hanya dia  dan memilih untuk tidak keluar. Dia menganggap itu adalah pendaki yang iseng saja.

Pak Arifin yang mendengar kami bercerita pun ikut dalam obrolan kami. Pak Arifin adalah pemilik basecamp yang ada di Bremi. Aku menceritakan perihal suara dangdut yang terdengar di hutan lumut padanya.

“Memang di situ tempatnya mas, kalau kemarin kalian mengikuti suara asal dangdut itu, kalian akan tersesat di Gunung Argopuro, ” jawab Pak Arifin.

Penjelasannya membuat kami semakin merinding. Setelah berada di basecamp, semua cerita baru terungkap. Untuk keselamatan kami, kami memang memilih untuk tidak bercerita hal-hal aneh selama pendakian.

Namun syukurlah, pendakian kami di Gunung Argopuro kali ini berjalan dengan lancar dan kami kembali dalam keadaan sehat (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co