Susah Payah Ungkapkan Cinta, Sahabat Priaku Menjawab Tidak

27 Februari 2020 17:55

GenPI.co - Aku sengaja untuk datang lebih awal, di tempat yang  aku sendiri yang menentukan. Bagaimanapun aku harus mengumpulkan keberanian untuk sesuatu yang sudah kuniatkan, tekad yang telah kubulatkan.

Sebuah text muncul di ponselku.

“Aku sudah di lampu merah dekat situ. 5 menit lagi sampai”.

Maka aku memanggil seorang waiter. Memesan dua cangkir kopi dan dua gelas air mineral. Aku sengaja memilih meja paling pojok agar bisa leluasa bicara. Tempat itu juga tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa meja terisi, itupun mereka sibuk dengan laptop mereka masing-masing.

BACA JUGA: Idih, Ini Cowok Nggak Ngerti Banget Sih?  Malas Banget Aku Tuh!

Dari balik jendela café, aku melihat dia melangkah dari tempat parkir. Gagah seperti biasanya. Kemeja flanel warna biru pudar yang dia padukan dengan kaos putih ketat terlihat sangat pas. Dengan fisiknya, dengan pembawaannya.

Hatiku berdesir halus.

“Nunggu lama?”Begitu sapanya sambil mengambil tempat duduk di hadapanku.

“Nope. Gue juga udah pesenin minuman buat kita. Biar tu waiter nggak bolak-balik”, jawabku sambil berusaha tanpak santai agar menutupi rasa gugup yang sudah sampai ke ubun-ubun.

“Kirain bakal rame ama anak-anak,” celotehnya.

“Gue emang sengaja cuma minta lu yang dateng. Gue mau ada perlu ngomong hal yang lumayan serius ama lu”.

“Weh, ada apa, nih?”.

Aku sudah hendak menjawab ketika kulihat waiter datang membawa pesananku. Jadi kutunda. Kubiarkan dia menyesap dulu kopi kesukaannya.

“Jadi, ada apa?” Ia bertanya sembali meletakkan cangkirnya di meja.

Aku menelan ludah. Mengumpulkan lagi keberanian yang sudah aku persiapkan dari kemarin.

I have to say it. I need to say it.

“I Love You”, bisikku.

“You what?” tanyanya, mungkin untuk meyakinkan pendengarannya.

“You’ve heard me…”

Ada jeda panjang di antara kami. Jadi aku memutuskan untuk melanjutkan omonganku.

“Hyup. Gue demen ama lu. Gue juga nggak tau pasti sejak kapan ada ‘lonjakan’ perasaan ini, dan kenapa harus lu. Tapi ya, gue cuma berusaha nikmatin aja yang gue rasain, sih”.

“Gue gak tau musti berreaksi apa,” jawabnya lirih.

“Mungkin dengan tanggapan jujur apa perasaan Lo soal perasaan gue,” kataku pelan, yang seketika kusesali lantaran seolah ada desakan di sana.

BACA JUGAAkhirnya Ketahuan, Ternyata Cowokku Suka Gituan Sama Om-om

Dia tak bisa langsung menjawabnya. Ada banyak hal yang bisa kubaca dari mimik dan bahasa tubuhnya. Ada enggan di tatapan matanya. Ada ragu di kedut bibirnya yang samar kutangkap.

“Maaf, Yono. Lu baik banget ama gue. Baik banget. Dan itu yang bikin gue ngerasa gak enak untuk bilang bahwa perasaan gue ke lu sayangnya nggak sama,”jawabnya.

Aku tersenyum. Tulus, kuraih tangannya lalu kugenggam erat. Rasanya dingin, sedikit basah karena keringat. Mungkin ada ketakutan di balik sikap tenangnya?

“Nggak apa-apa. Gue justru lebih menghargai kejujuran lu sekarang. Gue  bisa jadi akan lebih murka kalau di kemudian hari gue tau kalo lu nanggepin baik omongan gue sekarang hanya karena alasan balas budi,” sergahku.

“Jadi, kita masih bisa berteman baik?” tanyanya. Aku merasakan sedikit nada khawatir dalam omongannya.

“Oh come on. Kita sudah nggak di umur segitu untuk membahas perkara seperti itu deh, Jung. We are two adults, sitting here talking about our feeling. Ya iyalah kita tetep bisa berteman baik” ucapku berusaha tegas.

Padahal, hatiku sedang runtuh dalam keping-keping paling kecil. Ia yang kusayangi rupanya tak memiliki perasaan yang sama denganku.

“Tentunya, setelah kita pulang dari sini, gue akan butuh sedikit waktu untuk sendiri. Untuk berfikir, untuk menikmati perasaan gue yang sedang campur aduk antara, maaf, kecewa dan lega ini. Tapi sungguh, Lo gak perlu khawatir. Pembicaraan ini gak perlu ngubah apapun yang udah ada di antara kita”, tambahku.

Hening.

Kuteguk sisa-sisa kopi yang sudah dingin. Dia pun melakukan hal yang sama.

“Ya udah, balik yuk”, ajakku beberapa saat kemudian.

“Anak-anak mau karaokean, tuh. Lu gak mau gabung?”, tanyanya.

“Gue skip dulu deh kali ini, ya. Daripada ntar gue curhat lewat lagu”, selorohku.

Hening lagi.

“Is it because of me?”.

“Ya elah, Jung. Ya gak, lah. Kan gue udah bilang tadi. Nggak nyimak, deh. No worries. Besok juga gue bakal biasa lagi. Serius!”, sergahku.

Kami beranjak. Ajung mendekatiku dan serta merta memelukku. Pelukan paling tulus yang bisa gue rasakan.

“Makasih, yah. Untuk perasaan dan kejujuran lu. Meski jawaban gue pasti bukan seperti yang lu pengen denger”, bisiknya.

Hatiku hangat. Kubalas pelukannya sambil kubisikkan jawabanku

“It beyond my expectation already. Mencintaimu itu kebutuhan gue. Soal perasaan lu ke gue, itu bukan urusan gue”.

Kami melangkah ke parkiran bersama.

“Eh, tunggu. Kalau  lu  tadi bilang reaksi gue baik dari yang bisa lu bayangin, emang apa reaksi terburuk yang bisa lo bayangin?”, tanyanya tiba-tiba.

“Ya paling nggak, lo gak mendadak kabur ketakutan liat gue yang menatap lo dengan binar cinta. Halah,” jawabku sambil lalu.

“Hah? Emang ada yang model gitu?”.

“Nah! Mungkin itu yang bikin gue demen ama Lo. Lo tuh kadang naifnya ampun! Banyakkkk Jung yang kayak gitu,” sahutku.

“Ohhh… soalnya setauku yang lebih banyak kejadian itu, orang musuhin orang gara-gara ditolak cintanya”.

“Hahahahahahahha… Kalo itu emang iya banyak, sih. Yang bikin gue gak yakin itu yang mereka rasain adalah cinta,”

“Berat, yah. Udah, ah. Lu yakin nih nggak mau gabung?” Ia bertanya sambil memakai helm.

“Nope. Salam aja buat anak-anak,  ntar.”

“Okelah. Hati-hati di jalan. Kabarin kalau udah nyampe rumah”.

“Siap!”.

“Bye!”, lambainya.

Sejenak, kupandangi dia melaju dengan motor besarnya. Dan menjadi semakin yakin, aku punya alasan untuk apa yang kurasakan padanya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co