Diam-diam Aku Bergairah dengan Sahabatku Sendiri

12 Maret 2020 21:48

GenPI.co - Aku duduk di window-seat, disampingku ada Ardi. Pria berusia matang berperawakan tak terlalu berotot tapi justru memiliki daya tarik yang luar biasa. Wajahnya yang serupa pria kebanyakan, sepintas tak menarik. Atau dipandang lama juga sama saja. Dan aku, cuma pecundang yang berani menjadi pemuja rahasianya. Menjadi teman curhatnya, apapun itu. Karena mendengar suaranya saja sudah membuatku mabuk kepayang. Apapun topiknya!

Perjalanan dari Bandara International Lombok – Senggigi membuat kami sibuk membahas khayalan manis kalau jalanan di Jakarta bisa sedamai itu. Lebar dan lengang. Mukjizat yang terlalu tinggi. Malam itu kami memang akan menginap semalam dulu di Senggigi, karena penerbangan kami yang terlalu sore sehingga tidak mau memaksakan untuk langsung berguling-guling di pantai di Gili Trawangan.

Kami menginap di satu hotel kecil, yang ternyata membuat Ardi tak henti-hentinya mengomel tentang nyamuk yang seperti berpesta di kulit coklatnya. Untung aku membawa beberapa botol anti nyampuk spray, jaga-jaga.

BACA JUGA: Bi Ima Bikin Aku Terkulai Lemas Namun Puas

Sore itu kami kami geleparan di pasir pantai. Mengeringkan badan sambil melemaskan persendian setelah snorkeling yang mengagumkan. Kamera Ardi yang ternyata waterproof sampai harus kedip-kedip kehabisan baterai saking maksimalnya bekerja. Dan aku gembira saja dipotret sana-sini. Pengalaman pertamaku melihat keindahan bawah laut!

“Huah… berbaring disini sambil memeluk dia yang sama-sama kelelahan sehabis snorkeling, romantis mungkin , ya”, kata Ardi sambil memejamkan mata. Entah membayangkan apa yang diucapkannya, atau menghindari cahaya matahari.

Ahhh… again this kind of conversation should be happen in the moments that i enjoy a lot! Please stop the shit story of your imagination about your-dreaming-lover! Bored! You kill me slowly!

“Telpon, suruh kesini. Ngayal sampai kau tenggelam di dasar laut Lombok sini juga nggak bakal kesampaian!”Aku  menimpal sekenanya. Aku sedang sangat tak ingin mendengarkan curhatannya sebenarnya, paling tidak untuk saat ini.

“Hahahahaha… entahlah. Sekarang saja aku merasa sangat dekat dengan dia,” dia makin senyum-senyum tak jelas.

I was think to go shinking to stop your holy story, Di!

“Ah… serah kamu lah”, dan aku beranjak, kembali ke air. Entah, pasir itu kurasa tak lagi nyaman untuk kududuki. Dengan obrolan khayal dari Ardi tadi, aku muak tanpa bisa bilang apa-apa.

“Kemana kau? Mau berenang lagi? Sinting!” Ardi mendonnggakkan kepala ketika mendengar suara krasak-krusukku beranjak.

“Mendingan aku kecapekan berenang daripada panas kuping dengerin khayalan siang bolongmu!”, aku melangkah cuek, padahal bergemuruh.

“Ya ya ya, Mr. Sinis. Go on…”.

BACA JUGA: Sahabatku Hamil, Ternyata Perbuatan Tunanganku

Dan ucapan itu tak bisa kuanggap candaan. Ada apa ini denganku. Sudah terlalu berharap lebih atau apa??? Sial! Kalau sampai hari terakhir Ardi tetap terus dengan khayalan cintanya dengan si dia, mungkin aku harus menyesali liburan kali ini.

Aku renang dengan kecipak tanpa aturan.

“Rapi sekali, mau kemana kau?” tanyaku menatap heran Ardi yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin.

“Cuma jalan-jalan malam sebentar. Jangan bilang kau takut kutinggal sendirian di kamar ini?!”.

“There’s nothing to do with fear! Atau jangan-jangan…” aku bangkit dari ranjang, duduk di meja samping cermin sambil mencomot satu cookie.

“Apa?”  Timpalnya sambil mencomot sisa cookie yang masih ada di tanganku.

“Jangan bilang si “dia”mu itu ada di pulau ini juga?!” tanyaku penuh selidik.

“Hahahahaha… selamat tidur, Yud. Nggak usah  nunggu aku pulang ya. Nanti aku minta kunci kedua di resepsionis”, jawabnya sambil ngeloyor pergi. Bukan jawaban.

Dan bantal sofa yang ada di dekatku spontan melayang ke arah pintu begitu kudengar langkah dia menjauhi kamar.

Ardi brengsek!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

BACA JUGA: Bima, Kamu Masih Ingat Peristiwa di Rumahku Malam Itu?

Ardi menarik kakiku dengan kasar, kebiasaan.

“Bangun, pemalas!!! Kita ada jadwal ke Gili Meno hari ini!!!”.

Aku Cuma menyingsingkan mata sedikit, melihat dia yang sepertinya sudah siap melompat ke perahu yang akan membawanya ke pulau tetangga. Entahlah, aku sedang malas melihatnya.

“Aku nggak ikut! Aku malas kemana-mana hari ini! Kamu aja deh, yang pergi!”, sambil menarik kembali selimut dan memeluk guling erat, meringkuk.

“Ah payah kau, ah. Liburan bareng ngapain perginya sendiri-sendiri gini?!”, dia menyibak selimutku, masih berusaha.

“Payah?? Pergi sendiri?? Terus apa kabar semalam?? Atau itu bukan “sendiri” bagi kamu, Di?”, aku sudah duduk, menatapnya.

“Astaga… perkara semalam kau jadikan masalah??”, dia terheran-heran dengan ekspresiku, mungkin.

“Kalau bukan masalah buat kamu, ya sudah lah sana, pergi saja. Aku sedang ingin berbaring saja di kamar ini, hari ini!”, aku menarik selimut sampai menutupi kepalaku.

“Serah kamu, lah. Aku pergi!”, dan dia benar-benar pergi. Menutup pintu dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Dan kali ini bantal tidurku yang melayang ke arah pintu.

BACA JUGA: Arka Sayang, Kenapa Kamu Melupakanku? Aku Benci Tapi Juga Rindu

“Masih marah gara-gara semalam??”, Ardi duduk di hadapanku. Di teralis teras kamar setelah dia membersihkan diri.

“Sudahlah, nggak usah dibahas. Gimana Gili Meno?”, kataku datar sambil meneguk sekaleng beer.

“Aku nggak kesana, koq. Cuma berenang di pantai depan”, katanya ringan sambil meneguk beer dari kalengku.

“Heh… kenapa nggak jadi?”.

“Ke sana sendirian padahal rencananya kita pergi bareng?? Malas sekali!”, katanya sambil santai berpindah duduk ke kursi rotan disebelahku.

Oh my… baru terasa betapa konyolnya kemarahanku yang tak beralasan!

Dan aku tak bisa bicara lagi. Tak menjawabnya.

“Ntar malam kutraktir makan, yah. Anggap saja sebagai penebusan kesalahanku yang entah dimana letaknya, semalam”, kata Ardi.

“Emmmm…”, aku ingin menolak. Bukan karena tak ingin. Tapi dia tak perlu meminta maaf seperti itu, khan?! Justru aku yang dirundung perasaan bersalah.

“Halah sudahlah, nggak usah nolak. Ntar jam 7 malam sudah siap cabut. Aku mau tidur sore. Bangunkan aku jam 6.30 nanti, ya” katanya sambil beranjak masuk ke kamar.

Oh Ardi… beruntungnya “dia” yang menjadi objek cerita cintamu…

Antara iri, masih mendendam dan kesal tanpa alasan, dan menyesali tindakan bodohku, sebagai temannya.

BACA JUGA: Kisah Don Juan yang Tega Menghamili Teman Pacarnya

Malam itu tak terlalu istimewa sebenarnya. Bulan yang bersinar tak sepenuhnya purnama saja masih ditambahi dengan beberapa mendung yang gerakannya cepat sekali. Awan rendah, sepertinya. Tapi masih selamat lah, bintang berkedip di beberapa bagian langit. Paling banyak di arah selatan, tepat di hadapanku, berarti.

Tapi membayangkan hanya menikmati malam bersama Ardi di kafe yang entah bagaimana bisa sesepi ini?? Aku tak berharap lebih. Semua kurasa cukup. Ironis? Sudahlah, aku terbiasa dengan keadaan dimana seolah-olah aku adalah makhluk paling ironis yang pernah ada.

Dan makan malam itu mendadak buram…

“Yud… kayaknya aku mau ngungkapin cintaku ke si dia, deh. Secepatnya kalau bisa”, ringan, Ardi membuka sesi curhat di sela-sela menikmati hidangan makan malamnya.

Aku, spontan menghentikan aktivitas makanku, 5 detik mungkin. Semoga Ardi tak menyadarinya. Aku tak menjawab, dan sedang tak ingin menanggapi. Kenapa dia harus merusak suasana malam ini dengan cerita cintanya yang entah pada siapa???????????

Dia membawaku, pergi meninggalkan kafe itu. Duduk di hamparan pasir yang anggak terpencil, di sini kanan dari kafe tadi. Sorot lampu mercusuar sesekali menerangi kami. Tapi sinar bulan yang sudah bebas dari mendung lebih dominan menemani kami.

“Sekarang aku mennggakui keadaan diriku, Yud. Ya, aku gay. Dan objek yang menjadi cerita-ceritaku selama ini, adalah kamu. Maafkan aku”, Ardi bicara tanpa menatapku. Pandangannya tertuju pada garis cakrawala yang beriak memantulkan cahaya bulan. Sama dengan yang kupandangi. Botol itu sesekali menyentuh bibir kami, lebih untuk menyirami hati daripada raga.

“Kenapa baru sekarang kau ucapkan semua ini, Di? Hanya untuk menyebut namaku dalam ceritamu saja harus membawaku ke pulau ini?”, tanyaku, masih tanpa memandangnya.

“Kalau kau mau tahu, kenapa aku bisa bersikap sekasar itu tadi, itu karena aku sudah tak tahan, Di. Bukan dengan ceritamu, tapi membayangkan ada orang lain yang begitu kau cintai sedemikian rupa. Dan itu bukan aku. Bukan namaku yang kau sebut-sebut dalam cerita khayalmu”.

Dia bangkit di kedua lututnya, tanpa permisi memelukku. Hangat, erat. Cerita-cerita Ardi tentang bagaimana dia jatuh cinta dengan sosok “dia” seakan berkelebat dikepalaku, hanya saja dengan komposisi yang berbeda. Kata “dia” berganti dengan namaku, di setiap cerita.

Hangat yang luar biasa.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co