Mata hari, Mata-mata Wanita Paling Terkenal di dunia yang Cinta Budaya Nusantara

27 Februari 2019 18:29

Syahdan 15 oktober 1917, Mata hari dibawa ke lapangan untuk menghadapi juru tembak Perancis. Atas tuduhan berperan sebagai agen ganda bagi Jerman, Perancis menghukum mati Mata Hari. Dia menolak saat matanya akan ditutup kain, dia hanya berucap, “Saya siap.” Itulah hari terakhir bagi mata-mata wanita paling terkenal di dunia, yang kecintaanya pada budaya jawa membantunya terkenal di Eropa.

Mata hari adalah warga Belanda yang pernah tinggal di Indonesia selama 5 tahun. Kembali ke Eropa, dia adalah penari profesional yang menjadi telik sandi bagi Perancis selama Perang Dunia Pertama.  Namun karena dianggap bertindak sebagai agen ganda bagi Jerman, Mata hari harus tenggelam pada tahun 1917.

Terlahir sebagai Margaretha Geertruida Zelle pada tahun 1876 di Leeuwarden, Belanda, Mata Hari menikah dengan dengan Rudolf MacLeod pada tahun 1897. Pada tahun yang sama anak pertama mereka Norman John lahir dan Mata Hari mengikuti suami yang kembali bertugas ke Hindia Timur. Pada tahun 1898 anak kedua mereka lahir dan dinamai Louise Jeanne. Keluarga ini kembali ke Eropa pada tahun 1902. Di sana, pasangan ini berpisah dan anak mereka dirawat oleh MacLeod, sementara Mata Hari hidup sendiri.

(Foto: economictimes.com )

Rudolf MacLeod adalah perwira angkatan Laut KNIL yang merupakan keturunan orang Skotlandia dan pernah ditempatkan di Aceh. Selama masa tinggal di Hindia Timur, MacLeod dan Mata Hari ditugaskan ke beberapa tempat.

MacLeod dan Mata Hari di Hindia Timur pertama kali menetap di sebuah pos kecil pasukan Belanda di Kota Ambarawa, Jawa Tengah. Mereka lalu pindah ke Kampung Tumpang di dekat Malang Jawa Timur, lalu ke Kota Medan di Sumatra, dan terakhir di Banyu Biru Jawa Tengah.

Pada tahun 1900 MacLeod Pensiun setelah 28 tahun bertugas, dia dan istrinya akhirnya menetap di Sindanglaya dekat Bandung di Jawa Barat. Namun karena Mata Hari tidak betah dengan kehidupan kampung yang sepi seperti Sindanglaya, maka keluarga ini akhirnya kembali ke Eropa.

Berbeda dengan Sindanglaya, Malang adalah kota yang besar dan hidup, menurut buku ‘Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952’ selama tinggal di kota inilah Mata hari benar-benar menikmati kehidupannya di Hindia Timur. Pada masa itu muncul ketertarikan yang meluas di Eropa atas segala hal yang berasal dari timur, mulai dari agamanya, kepercayaan mistisnya, cara berpakaian dan lainnya. Pada masa inilah berkembang cabang ilmu orientalisme di Eropa.

Saat Mata hari tinggal di Malang, jumlah penduduk Malang sekitar 12.040 jiwa dengan 1.400 diantaranya adalah orang Eropa. Pada masa ini Malang merupakan salah satu dari dua kota peristirahatan bagi orang Eropa di Jawa. Satu lagi adalah Bandung.

Selama tinggal di Malang, Mata hari bergabung dengan sebuah  komunitas Eropa, yang mengadopsi budaya lokal dan hidup dengan gaya lokal. Mereka berpakaian kebaya dan sarung, berbahasa melayu, dan tampil di acara-acara komunitas Eropa yang kadang tampil bersama komedi stambul. Selama di Malang pulalah Mata hari bergabung dengan grup tari lokal, mempelajari tarian ronggeng dan belajar menari diiringi lantunan gamelan.

Kelak, pengetahuannya atas kebudayaan timur dan keterampilannya menari akan membantunya dalam menjalankan perannya sebagai mata-mata di Eropa, dimana gayanya yang eksotik berhasil menarik perhatian banyak perwira militer dan orang penting yang terobsesi dengan dunia timur.

Kini Mata hari telah menjadi legenda dunia. Eksotika yang dia bawa bersama dirinya dari Jawa akan terus hidup selamanya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co