GenPI.co - Pemerintah Iran mulai melunak dengan meninjau Undang-undang Hijab yang mewajibkan wanita setempat menutupi kepala mereka.
Undang-undang itu telah memicu gelombang protes berakhir ricuh yang dua bulan terakhir mewarnai negara tersebut.
Dikutip dari kantor berita ISNA, Minggu (4/12), Jaksa Agung Iran mengatakan bahwa Tim peninjau bertemu pada hari Rabu pekan lalu dengan komisi kebudayaan parlemen.
Meski tidak merinci apa yang bisa diubah dalam undang-undang tersebut, namun dia mengatakan hasil pertemuan itu akan terlihat dalam satu atau dua minggu.
Sementara itu Presiden Iran Ebrahim Raisi pada hari Sabtu (3/12) mengatakan republik Iran dan fondasi-fondasi Islam secara konstitusional mengakar.
“Tapi ada metode pelaksanaan konstitusi yang bisa fleksibel,” katanya dalam komentar di televisi.
Demonstrasi di Iran dimulai setelah Mahsa Amini, seorang Iran berusia 22 tahun asal Kurdi, meninggal dalam tahanan pada 16 September.
Dia tewas setelah penangkapannya oleh polisi moralitas Iran karena dugaan pelanggaran kode berpakaian.
Para pengunjuk rasa membakar penutup kepala mereka dan meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.
Sejak kematian Amini semakin banyak wanita yang tidak memakai jilbab, terutama di bagian utara Teheran yang modis.
Iran menuduh musuh bebuyutannya Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Inggris, Israel, dan kelompok Kurdi yang berbasis di luar negeri, mengobarkan kekerasan jalanan yang disebut pemerintah sebagai "kerusuhan".
Seorang jenderal di Korps Pengawal Revolusi Islam Iran minggu ini, untuk pertama kalinya, mengatakan lebih dari 300 orang tewas dalam kerusuhan sejak kematian Amini.
Badan keamanan tertinggi Iran, Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, pada hari Sabtu mengatakan jumlah orang yang tewas selama protes "melebihi 200."
Dikutip oleh kantor berita negara IRNA, disebutkan bahwa jumlah tersebut termasuk petugas keamanan, warga sipil, separatis bersenjata, dan "perusuh".(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News