Waduh! 60% Penyakit Anemia Disebabkan Kekurangan Zat Besi

02 Februari 2021 21:22

GenPI.co - Anemia menjadi masalah kesehatan di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Secara global, sekitar 50-60% angka anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi atau biasa disebut Anemia Defisiensi Besi (ADB).

Bahkan, dampak negatif yang diakibatkan oleh anemia defisiensi besi dapat berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia lintas generasi ke depannya.

BACA JUGA: Kebaikan Mentimun untuk Penderita Jantung dan Diabetes

Selain itu, di tengah tantangan kesehatan global yang saat ini terjadi, isu pemenuhan malnutrisi masih menjadi ancaman kesehatan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia.

Masalah gizi, baik gizi kurang atau gizi lebih, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit lain, khususnya risiko terjadinya penyakit tidak menular.

Menurut Riskesdas 2018, angka stunting kita mencapai 30,8% dan telah mencapai peringkat 4 dunia. Sedangkan  48,9% ibu hamil, 32% remaja 15-24, dan 38,5% balita mengalami anemia.

Secara global, sekitar 50-60% angka anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi atau biasa disebut Anemia Defisiensi Besi (ADB).

Spesialis Gizi Klinik dari Indonesian Nutrition Association (INA), Dr. dr. Diana Sunardi, M.Gizi, Sp.GK, mengatakan bahwa saat ini Indonesia masih menghadapi tiga beban masalah gizi (triple burden) yaitu stunting, wasting dan obesitas serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia.

“Seseorang dengan kondisi Anemia Defisiensi zat Besi (ADB) berisiko melahirkan bayi berat badan rendah (BBLR), stunting, komplikasi saat melahirkan dan risiko lainnya," ujar dr. Diana dalam keterangannya pada rilis yang diterima GenPI.co, Selasa (2/2/2021).

Lebih lanjut, kata dia padahal kondisi ADB sendiri dapat terjadi lintas generasi dan dapat diturunkan sejak remaja, ibu hamil, anak dan seterusnya.

Misalnya, pada kasus balita dan anak, ADB bermula dari kurangnya zat gizi mikro pada 1000HPK.

Dampaknya juga dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang terganggu, penurunan aktivitas fisik maupun kreativitas, serta menurunnya daya tahan tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi.

Sedangkan pada kasus remaja, ADB dapat menurunkan produktivitas dan kemampuan akademis. Kondisi ADB pada kehamilan usia remaja juga rentan terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi.

"Oleh karena itu, urgensi perbaikan gizi masyarakat sebaiknya difokuskan pada 1000HPK dan usia remaja,” tegas dia.
   
Kondisi ADB yang terjadi pada penderita membawa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang bagi tiap-tiap generasi.

Jika ditarik benang merah, kondisi ini merupakan ancaman besar mengingat dampaknya terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Di sisi lain, negara dituntut untuk dapat menciptakan generasi dengan daya saing global. Sehingga terdapat urgensi untuk memutus mata rantai anemia lintas generasi.

Dr. Diana menambahkan, intervensi melalui pemenuhan nutrisi dan edukasi secara menyeluruh merupakan upaya yang dapat dilakukan dalam memutus mata rantai anemia baik di lingkup individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.

BACA JUGA: Simsalabim, Batang Serai Dicampur Air Teh Khasiatnya Dahsyat

Pada anak di atas satu tahun, pencegahan anemia dapat dilakukan dengan memberikan gizi seimbang termasuk pangan makanan dan minuman yang mengandung zat besi maupun mikronutrien lain yang mendukung penyerapan zat besi seperti vitamin C.

Sedangkan, pada remaja dapat dilakukan melalui penanaman pola hidup sehat, yaitu mengonsumsi makanan yang bersih, sehat, dan bergizi seimbang. Selain itu juga dapat diberikan suplementasi tablet tambah darah (TTD).(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co