GenPI.co - Draft RKHUP 2019 kembali digaungkan dan disosialisasikan ke berbagai kota sejak Februari hingga Juni 2021.
Sayangnya, agenda reformasi hukum pidana tersebut justru menuai berbagai polemik dari berbagai kalangan masyarakat karena beberapa pasal di dalamnya justru mengundang kontroversi.
Direktur Eksekutif SETARA Institute mencatat setidaknya, terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi atensi penting dalam substansi RKUHP tersebut.
Pertama, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan lembaga negara. Dalam sejarah ketatanegaraan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.
Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi.
Kedua, ketentuan pidana bagi gelandangan. Pidana denda bagi setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum seolah telah menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal memahami esensi perlindungan HAM yang termaktub dalam konstitusi.
Gelandangan sebagai individu yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah bahwa masih jauhnya tingkat kesejahteraan warga negaranya.
Alih-alih hadir untuk memelihara gelandangan, pemerintah justru menjatuhkan pidana denda. Lagi-lagi, pemerintah abai terhadap amanah konstitusi bahwa negara harus hadir untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 34 (1) UUD NRI 1945.
Ketiga, beberapa pasal dalam draft RKUHP merupakan bentuk intervensi yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu, misalnya terkait pasal perzinaan dan kumpul kebo.
Betapapun zina dan kumpul kebo merupakan tindakan yang amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Atas berbagai hal tersebut, SETARA Institute menyatakan:
1. Menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara.
2. Mendesak agar DPR bersama Pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara.
3. Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News