GenPI.co - Peneliti Puskapol UI Beni Telaumbanua menjelaskan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggaraan pemilu belum mencapai ambang batas kebijakan afirmatif sebanyak 30 persen.
Menurut Beni, kekurangan jumlah perwakilan perempuan terjadi di KPU dan Bawaslu periode 2017-2022, baik tingkat maupun daerah.
“Semuanya masih belum mencapai 30 persen. Paling tinggi adalah KPU tingkat provinsi yaitu 21 persen dan terendah KPU RI hanya 14,3 persen,” ujarnya dalam webinar
“Memastikan Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu 2024,” Selasa (4/1).
Hal tersebut seharusnya dapat mendorong seluruh pihak untuk mengubah kondisi yang ada saat ini.
Beni mengatakan ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh seluruh pihak dalam memenuhi keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia.
Pertama, konstruksi sosial dan tantangan domestik terhadap perempuan.
Kehadiran perempuan dalam ruang-ruang politik hingga hari ini masih menjadi diskusi yang panjang.
“Budaya patriarki masih melihat kehadiran perempuan tak urgent. Perempuan juga kerap terhalang kariernya karena tanggung jawab mereka kepada keluarga,” katanya.
Kedua, identifikasi dan penjaringan calon potensial akibat waktu seleksi yang pendek.
“Waktu yang pendek membuat peluang menjaring calon potensial menjadi terbatas,” ungkapnya.
Ketiga, proses seleksi dan celah regulasi, khususnya terkait jumlah calon yang harus diserahkan tim seleksi kepada presiden.
“Dalam banyak kasus, para perempuan sudah gugur di proses-proses sebelumnya. Hal itu membuat 30 persen kehadiran perempuan makin sulit dipenuhi,” tuturnya.
Keempat, kepentingan politik yang bekelindan dalam proses seleksi.
“Kepentingan politik membuat opsi untuk memastikan keterwakilan perempuan tak menjadi perhatian penting, terutama dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR,” pungkas Beni. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News