GenPI.co - Akademisi politik Philipus Ngorang mengatakan bahwa ambisi para penggugat ambang batas pencaonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen menjadi 0 persen tak memiliki arah.
Pasalnya, pihak penggugat PT 0 persen selalu membanding-bandingkan sistem politik Indonesia dengan Amerika Serikat, termasuk dalam aturan pemilihan presiden (pilpres).
Menurut Ngorang, pemilihan calon presiden di AS sudah dilakukan di tingkat partai politik.
Calon presiden dalam pilpres AS akan selalu dua orang, karena menganut sistem kepartaian dwipartai.
Selain itu, pilpres AS menggunakan sistem pemilu pluralitas, sehingga penghitungan suara dilihat dari seberapa banyak negara bagian yang memilih suatu calon.
“Itu mempersingkat proses politik, bahkan tak dibutuhkan ambang batas presiden atau pemilu putaran kedua,” ujar Philipus Ngorang kepada GenPI.co, Jumat (25/2).
Ngorang mengatakan bahwa sistem pemilu di Indonesia adalah mayoritas, sehingga penghitungan suara adalah “one man, one vote”.
Sistem tersebut dinilai lebih demokratis, tetapi memiliki biaya politik yang sangat besar dan memakan waktu lama.
“Jika selisih antara dua calon tipis, mau tak mau pemilu putaran kedua diadakan. Ini yang membuat proses politiknya jadi sangat panjang,” katanya.
Oleh karena itu, wajar jika Indonesia menerapkan PT 20 persen dengan tujuan agar proses politik tak makin keruh.
Selain itu, PT 20 persen juga memberikan ruang bagi partai politik untuk memberdayakan kader mereka.
“Bayangkan betapa pusing negara ini jika proses dan biaya politik makin besar karena PT 0 persen,” tutur Ngorang. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News