Pegiat Antikorupsi Sebut UU Baru KPK Tidak Sah, Ini Penjelasannya

17 Oktober 2019 13:50

GenPI.co - Pegiat antikorupsi Boyamin Saiman menilai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi tidak sah. Pentolan Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) itu menilai UU baru tentang KPK tidak memenuhi mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan.

Boyamin menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat salah penulisan yang sangat substansial, tetapi hanya dianggap typo oleh pemerintah dan DPR. Seperti diketahui, salah ketik di UU KPK terjadi pada Pasal 29 Huruf e.

Ketentuan itu mengatur soal syarat usia untuk menjadi pimpinan KPK. Pasal itu menjelaskan, syarat usia minimal komisioner KPK yang angkanya tertulis 50 tahun, tetapi dalam penjelasan hurufnya tertera (empat puluh tahun).

"Permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku apakah angka 50 atau huruf empat puluh," kata Boyamin, Kamis (17/10).

BACA JUGA: Mengintip Istana, Pak Moeldoko Akui Presiden Jokowi Sedang Puyeng

Dengan demikian, kata Boyamin, yang seharusnya diubah adalah angka 50 menjadi 40 jika yang dianggap benar adalah huruf empat puluh. “Ini bukan sekadar typo, namun kesalahan substantif," tegasnya.

Mantan anggota DPRD Kota Surakarta itu menambahkan, pembetulan atas kesalahan tersebut harus melalui rapat paripurna DPR. Sebab, pengambilan keputusan atas UU KPK yang diwarnai typo juga melalui rapat paripurna.

"Produk rapat paripurna hanya diubah dengan rapat paripurna. Koreksi yang bukan dengan rapat paripurna menjadikan revisi UU KPK menjadi tidak sah dan batal demi hukum," ulas Boyamin.

Dia menambahkan, dalam bernegara ataupun hukum berlaku asas tentang aturan hanya bisa diubah oleh ketentuan sederajat dengan cara sama. Hal itu pernah terjadi pada putusan Mahkamah Agung (MA) dalam tingkat kasasi tentang perkara Yayasan Supersemar.

Putusan itu menuliskan angka Rp 139 juta yang seharusnya Rp 139 miliar. “Kesalahan ini tidak bisa sekadar dikoreksi dan membutuhkan upaya peninjauan kembali untuk membetulkannya," jelasnya. 

Di sisi lain, lanjut Boyamin, hingga saat ini belum terbentuk alat kelengkapan DPR (AKD) termasuk Badan Legislasi (Baleg) sehingga koreksi typo oleh parlemen sekarang juga tidak sah. Menurut dia, syarat sahnya pembetulan atas typo dalam UU KPK hasil revisi adalah melalui Baleg dan rapat paripurna DPR.

"Sepanjang hal ini tidak dilakukan maka revisi UU KPK adalah tidak sah," ujarnya.

BACA JUGA: Jokowi Mengaku Kabinet Nanti Banyak Wajah Baru, Siapa Saja?

Lebih lanjut Boyamin juga menyoroti revisi UU KPK masih menyisakan masalah karena pengambilan keputusannya dalam rapat paripurna DPR pada 17 September 2019 tidak mencapai kuorum kehadiran secara fisik para legislator. 

“Nyatanya yang hadir saat pengesahan rapat paripurna DPR hanya 89 anggota, jelas-jelas tidak kuorum," ungkap Boyamin.

Selain itu, kata dia, masih ada permasalahan dengan pembacaan revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR. Sebab, Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna DPR kala itu tidak membacakan materi revisi secara utuh.

"Padahal sebelum dimintakan persetujuan harus dibacakan secara utuh untuk menghindari kesalahan sebagaimana terjadi saat ini," pungkasnya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Tommy Ardyan

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co