GenPI.co - Akademisi politik Philipus Ngorang mengatakan bahwa sudah tak bisa dipungkiri lagi jika pemasaran politik di Indonesia cenderung dilakukan dengan menjual figur atau tokoh.
“Penokohan boleh, tapi jangan jadikan itu sentral perjuangan partai politik. Harusnya, partai politik itu menjual ideologinya, dalam artian visi misinya apa dan orientasinya apa,” ujarnya kepada GenPI.co, belum lama ini.
BACA JUGA: Megawati Turun Takhta, PDIP Terbelah Jadi 2 Kubu, Mencemaskan!
Misalnya, PDIP yang mengatakan bahwa mereka memperjuangkan wong cilik, seharusnya benar-benar fokus pada orang-orang kecil.
“Lalu, jika sebuah partai politik ingin memperjuangkan pemerataan pembangunan dan keadilan sosial, ya, jelaskan wujud yang dimaksudkan seperti apa,” paparnya.
Ngorang juga menyebutkan bahwa perjuangan buruh tidak laku dalam pergerakan politik di Indonesia.
“Di Inggris jelas ada Partai Buruh. Kalau ada Partai Buruh, artinya semua buruh, baik yang kasar maupun pabrik, mereka harus bersatu mendukung Partai Buruh. Itu, kan, sangat ideologis,” katanya.
Pengajar di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie itu mengatakan bahwa ideologi yang berkembang di Indonesia saat ini adalah agama. Padahal, hal itu tak seharusnya kembali berkembang di Indonesia.
“Seperti yang terjadi belakang ini, agama dijadikan daya tarik dalam tiap kali pemilu. Itu seharusnya sudah tak boleh lagi ada di Indonesia. Pasalnya, ideologi di Indonesia, ya, Pancasila,” ungkapnya.
Ngorang memaparkan bahwa partai politik di Indonesia mengusung tokoh biasanya karena orang tersebut menopang aliran sumber daya.
BACA JUGA: PDIP Bisa Syok, Kadernya Bakal Ditikung Parpol Lain
“Biasanya tokoh itu yang punya uang atau akses lainnya. Misalnya, Partai Nasdem, pemiliknya itu punya grup media. Lalu, dari Perindo ada Hary Tanoesoedibjo yang punya usaha banyak,” paparnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News