Festival Sindoro Sumbing, Kolaborasi Wonosobo dan Temanggung

04 Juli 2019 10:54

GenPI.co - Panitia gabungan Wonosobo-Temanggung kembali membedah naskah dan konsep sendratari yang bertajuk Mapageh Sang Watu Kulumpang, di aula Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo, kemarin (3/7) mendekati hari H puncak acara Festival Sindoro Sumbing (FSS) dalam platform Indonesiana,. Khristiana Dewi , Kabid Kebudayaan Disparbud Wonosobo mengungkapkan bahwa Mapageh Sang Watu Kulumpang atau ritual Mapageh adalah inti dari sinergi dua wilayah yang kaitannya dengan komitmen untuk menjaga kelestarian alam.

“Mapageh adalah agenda puncak dari FSS atau Festival Sindoro Sumbing yang ruhnya adalah kolaborasi dari dua kabupaten. Rekonstruksi bagaimana upacara penetapan tanah sima atau perdhikan di era kerajaan Medang sekitar 900 Masehi akan dilakukan, namun akan diarahkan pada sebuah ikrar untuk menjaga kelestarian alam di Sindoro-Sumbing dari dua pemimpin kabupaten. Sebelum puncak acara, akan ada berbagai pentas, termasuk sendra tari yang melibatkan para seniman dari berbagai daerah,” ungkap Dhewi.

Baca juga :

Pendaki Hilang di Bondowoso, Tim SAR Dengar Suara Tanpa Wujud 

SAR Nyerah, Kodim 0822 - Polres Cari Pendaki Hilang di Bondowoso 

Jalur Pendakian Gunung Gede Pangrango Ditutup 17 Agustus 2019 

Selain melibatkan dinas Pariwisata dan Kebudayaan di tiap kabupaten, FSS menggandeng komunitas, budayawan, seniman, hingga tim ahli baik dari kabupaten maupun dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah.

Mewakili BPCB Jateng, Riris Purbasari, menyebutkan bahwa agenda tersebut meskipun bercorak era Hindu tahun 900-an Masehi adalah sebuah konstruksi ritual budaya, sehingga sisi keagamaan merupakan latar kejadiannya yang ada di era itu, yakni di saat Hindu Siwa berkembang pesat.

“Fokus puncak acara ini adalah dari warisan budaya dan juga kesepakatan dua wilayah untuk sama-sama menjaga alam. Menjadi sebuah edukasi sejarah budaya bagai masyarakat juga sekaligus atraksi budaya yang mengangkat sejarah kerajaan Medang,” ungkapnya.

Tim Knowledge Management, Agus Wasono Putra berharap dengan adanya diskusi tersebut bisa diperoleh gambaran yang semakin jelas terkait peristiwa yang akan direkonstruksi dan dibalut dalam seni tari dan musik itu. Pihaknya terus membedah data yang diriset selama sebulan terkait temuan bukti artefak, situs, hingga budaya yang melekat di masyarakat.

“Memang dengan kondisi hari ini yang mungkin tidak lagi banyak penganut Hindu Siwa, terutama di Wonosobo, agenda Mapageh akan cenderung sebagai atraksi budaya sehingga masyarakat bisa memahami bahwa kondisi dan prosesi upacara di era itu sebenarnya juga sudah sangat maju dan tertulis di prasasti. Mulai dari kelengkapan ritual termasuk makanan yang lengkap yang dibagikan pada warga hingga hiburan yang tidak hanya tarian tetapi juga ada iringan gamelan,” ungkapnya.

Sementara itu, Sugeng, koordinator Sendratari dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Temanggung, mengatakan bahwa pihaknya masih menggodok narasi dan juga simbolisasi yang akan ditampilkan. Sehingga agenda paparan data dan Focus Group Discussion yang juga mengundang budayawan, penulis, komunitas, serta akademisi Wonosobo itu sangat penting.

“Dari agenda ini, kita bisa mendapatkan input, bagaimana rekonstruksi peristiwa di ahun 900-an akan kita adakan saat ini dan tentunya akan melibatkan dua bupati dari Wonosobo dan Temanggung di acara puncaknya. Harapan kami, masyarakat bisa menyambut positif agenda ini, terlebih diadakan di wilayah perbatasan Wonosobo Temanggung sekaligus perbatasan Sindoro-Sumbing yakni di Kledung,” ungkapnya. 


Tonton lagi :

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ardini Maharani Dwi Setyarini

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co