Gule Bustaman, Legenda Kulineri Hasil Akulturasi Kebanggaan Semarang

18 Januari 2019 14:03

Potongan besar daging kambing teronggok bersih di atas gerobak. Di sisinya, bagian-bagian hewan yang berbau khas ini seperti mata, telinga, pipi, jeroan, kaki hingga otak, terpapar menggoda. Semuanya sudah direbus masak, tinggal memotongnya menjadi bagian kecil-kecil siap santap di atas piring. 

Jika menghendaki sensasi pedas, cukup meminta digeruskan beberapa biji cabe rawit sesuai dengan tingkat kepedasan masing-masing. Tapi tunggu dulu, belum lengkap rasanya jika belum disajikan bersama kuah panas. Dan ketika tungku dibuka, meruaplah sensasi kuliner khas Kota Semarang, Gule Bustaman yang legendaris itu.

"Sudah lebih dari 20 tahun saya berjualan gule bahkan saya sudah generasi kedua," terang Sabar, penjaja Gule Bustaman di Kota Lama, Jumat (18/1).

Baca juga: 2019 Ada 67 Event di Semarang, Salah Satunya CoE Kemenpar

Mengambil tempat berjualan di belakang Greja Blendhuk, warungnya sangat sederhana. Memajang gerobak tua berwarna coklat yang membuktikan betapa lawasnya menu kuliner ini, di situlah sensasi sebuah kuliner legendaris.

Lebih dari itu, gule ini berbeda dengan kebanyakan gule yang dijajakan di warung-warung sate. Aromanya lebih kuat, citarasanya sangat lezat. Bayangkan saja, gule ini dimasak dengan menggunakan rempah pilihan. Merica, kunir, jahe dan kapulaga arab, sebuah paduan bumbu khas yang membuat aroma gulainya lebih sedap dan tidak membuat daging apek.

Lebih menarik lagi, Gule Bustaman sama sekali tidak menggunakan santan. Kuahnya yang kecoklatan berasal dari parutan kelapa yang digoreng hingga kering menjadi kelapa urap atau serundeng.

"Serundeng inilah yang kemudian diolah sedemikian rupa hingga mengeluarkan tetesan minyak kelapa. Minyak kelapanya lalu dimasukkan ke dalam air mendidih sampai menjadi kuah dicampur dengan racikan bumbu khas tadi," tukasnya.

Alhasil, puluhan porsi Gule Bustaman setiap hari ludes disantap pelanggan serta wisatawan yang datang di Kota Lama. Dijual dengan harga per porsi Rp 30 ribu belum termasuk nasi putih dan air minum, sekurangnya 1 ekor kambing harus dipotong untuk memenuhi hasrat kulineri pelanggan.

Kampung Bustaman

Sejarah Gule Bustaman sendiri tak bisa dilepaskan dari keberadaan Kampung Bustaman, yang berada sekitar 1 Km dari Kota Lama. Kampung ini sejak dulu banyak dihuni para penjagal hewan yang bertugas menyembelih ternak seperti kambing, sapi dan kuda.

Nama kampungnya diambil dari nama Kiai Kertoboso Bustam yang merupakan kakek buyut dari pelukis legendaris Indonesia, Raden Saleh. Nama Bustaman berkembang sejak penjajahan Belanda.

Berangkat dari jagal itulah, beberapa warga mengembangkan bisnis menjadi penjaja gule atau juga bisa disebut gulai. Dan kekhasan rasa Gule Bustaman itu pulalah yang menguatkan Semarang sebagai salah destinasi wisata yang kaya khasanah budaya dari hasil akulturasi Jawa, Arab, China dan Belanda.

Mau mencoba? Datanglah sekitar pukul 09.00-15.00 setiap harinya di Jalan Garuda belakang Gereja Blenduk kawasan Kota Lama. Selamat mencicipi.


Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Cahaya

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co