
“Ini untuk pesta perkawinan. Bisa 5.000 orang,” ujar pengurus di situ. Berarti bisa untuk 700 meja –satu meja 8 orang di kebiasaan di sini.
Di sini ternyata biasa pesta perkawinan diselenggarakan di halaman belakang kelenteng: di bawah tenda tanpa AC.
Di antara tempat pesta dan bangunan kelenteng itu ada gundukan tanah. Saya tahu maksud gundukan itu: agar seperti ada gunung di belakang bangunan induk kelenteng.
BACA JUGA: Catatan Terbaru Dahlan Iskan: Doa Wadas
Kawasan ini tanahnya datar. Kelenteng ini di tanah datar. Padahal bangunan kelenteng –juga rumah orang Tionghoa– sebaiknya memenuhi prinsip ini: “bersandar ke gunung, memandang laut”.
Kokoh dan damai. Maka dibuatlah seolah kelenteng ini bersandar ke gunung.
BACA JUGA: Catatan Terbaru Dahlan Iskan: Merah Putih
Malam itu terlalu asyik di kelenteng marga Chu ini. Lain kali ingin ke kelenteng marga yang lain. Hari pun kian larut.
Jadwal sepak bola terlewatkan. Besok paginya harus berangkat pagi-pagi ke Jambi –dengan mental baja: siap termehek-mehek 9 jam di jalan. (disway)
BACA JUGA: Catatan Terbaru Dahlan Iskan: Ulang Pantun
Simak video menarik berikut:
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News