
Farid pun memperoleh keyakinan bisa menyelesaikannya. Tapi ia tidak punya legalitas. Ia bukan pejabat di bidang itu. Pemerintah pusat akhirnya memberikan legalitas itu kepadanya. Ia diberi waktu 6 bulan.
Farid harus berkomunikasi dengan banyak kelompok. Pemilik tanah terpecah dalam banyak grup. Salah satu yang paling keras dipimpin seorang pengacara. Mereka membawa dokumen tanah yang mereka bilang amat kuat.
Farid memeriksa dokumen itu. Ia mencurigai sesuatu. Dokumen diserahkan ke polisi: untuk diperiksa di lab. Benar. Dokumen itu palsu. Kelompok paling keras pun seperti terong direbus.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tahlil Kanjuruhan
Proses seterusnya Farid sering diundang rapat di Jakarta. Ia seorang kolonel. Rapatnya dengan para menteri: Menko Luhut Panjaitan, Menkeu Sri Mulyani, Menteri Agraria Sofyan Jalil, dan para pejabat tinggi di pusat. Pembicaraan sudah sampai tahap berapa rakyat harus diganti rugi.
Yang diinginkan rakyat, ternyata sebenarnya tidak setinggi yang disuarakan selama ini. Itulah yang sebenarnya membuat rumit: terlalu banyak gorengan. Banyak pejabat yang ikut pasang wajan.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Asteroid: Ceres Swasta
Farid berhasil. Ganti rugi disepakati. Pusat menyediakan uangnya. Ganti rugi pun dibayarkan. Rakyat Mandalika senang bukan main. Saking senangnya mereka datang ke markas Korem. Membawa bungkusan. Isinya uang. Rp 200 juta.
Farid menolak. Ia mengatakan sudah mendapat biaya operasional dari pemerintah pusat. Tapi perwakilan pemilik tanah itu mengancam: kalau pemberian itu tidak diterima maka persaudaraan diputus.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Indonesia dan Malaysia: Emosi Serumpun
Farid pun membagi uang itu ke anak buahnya yang bekerja di lapangan. Maka Farid bisa mengakhiri jabatan Danrem NTB dengan lega. Ia dipindah ke Mabes TNI.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News