Maka bertambahlah persoalan reformasi kesehatan: jumlah dokter spesialis, ketersediaan obat dan peralatan.
Untuk obat dan pendukung yang diperlukan operasi jantung, misalnya, 90 persen masih impor. Itemnya begitu banyak. Pelayanan kepada pasien tidak hanya soal ketersediaan dokter spesialis tapi juga obatnya.
Lalu soal alat. Salah satu penyebab mengapa spesialis berkumpul di kota besar adalah kelengkapan alat. Dokter itu tidak hanya perlu gaji besar. Tapi juga kepuasan dalam mempraktikkan ilmunya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Kelenteng: Tri Dharma
Saya jadi ingat dokter Boyke, ahli ginjal. Ketika diminta pindah ke kota kecil, yang ia tanyakan tidak hanya gaji. Tapi juga apakah kota tersebut mau membelikan alat yang ia inginkan. Yang di kota sebesar Surabaya pun, saat itu, belum punya.
Begitu Gubernur (waktu itu) Awang Farouk membelikan alatnya, Boyke langsung pindah ke Samarinda. Orang Surabaya seperti istri saya pun harus operasi ke Samarinda. Untung bisa sekalian pulang kampung.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Ngaji Wagiman
Jadi Menteri Kesehatan Budi Sadikin harus menyediakan begitu banyak alat untuk begitu banyak spesialis di begitu banyak kota kecil. Dan Menkes sudah menyanggupinya.
Rupanya kalangan dokter sudah semakin kompak: mendukung reformasi kesehatan. Orang seperti Prof Dr Ario Jatmiko (72 tahun) ahli kanker senior itu, menulis dukungan yang sangat rinci.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Sobekan Irawan
Termasuk soal memperbanyak spesialis lewat hospital based. Bahkan lebih hebat lagi: spesialis bedah jangan sampai mengusir bedah umum.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News