
Waktu saya sebulan keliling Inggris selama sebulan, sebelum Covid, saya perlukan mampir ke lapangan golf St Andrew di Skotlandia utara. Yang ia bilang terbaik di dunia. Di situ Robert belajar manajemen lapangan golf. Waktu itu ia diminta almarhum Lee Kuan Yew memimpin satu lapangan golf di Singapura. Ia harus belajar dulu di "kampus" terbaik dunia.
Pebble Beach Golf di Carmel termasuk yang terbaik itu. Saya baca papan prestasi di situ. Saya lirik etalase butik-butik yang jual apa saja yang terkait golf. Saya baca harganya: dompet langsung mengempis.
Saya percaya kehebatan Pebble Beach, meski bagi saya terasa sama saja: enak dipandang sulit dipegang.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Nobel Caltech
Kota pantai Carmel sendiri memang istimewa. Anda sudah tahu bintang film Hollywood siapa saja yang punya rumah di sini.
Hari itu sudah terlalu senja untuk ke golf Pebble Beach. Kami pilih kya-kya dulu seputar kota. Langit senja sangat cerah. Udara sejuk. Bikin perut kian lapar.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Lama Baru
Maka sebelum menyaksikan sunset di pantai Carmel, kami makan dulu. Kevin pilihkan kami restoran Jepang: Toro. Dekat pantai. Dapat meja di luar. Justru lebih indah. Bahwa terlalu sejuk, pelayan menyalakan obor dari gas di dekat meja makan. Duh, romantisnya --kalau saja kami masih muda.
Melihat saya dan Kevin ngobrol dalam bahasa Jawa, Si cantik di resto itu mendekat: "Dari Indonesia ya?" tanyanyi dalam Bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Teman Baru
Dia ternyata anak Jogja asal Lampung. Kuliah di dekat kota ini. Sambil bekerja. Lalu dia menyajikan sepiring sushi lagi, sushi lain yang tidak kami pesan. "Ini hadiah dari chef kami. Orang Indonesia juga," katanyi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News