
Di situlah tantangan halal-haram dipertaruhkan. Izin-izin itu tidak hanya menyangkut restu dan dokumen. Tapi juga sampai pada siapa yang mengetik izin, siapa yang menyiapkan nomor izin, siapa yang mengambilkan stempel, siapa yang mengagendakan surat keluar. Untuk yang bagian ini mungkin tidak perlu Benjamin Franklin. Cukup Bung Karno yang turun tangan.
Dari segi teknis perizinan, NU mampu: NU sudah akrab dengan Bung Karno. Soal halal-haram mungkin bisa pakai hukum darurat.
Mungkin, ketika mengantarkan Bung Karno atau B. Franklin lakukanlah sambil berdzikir --mirip saran saat menyembelih babi bacalah "bismillah...".
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tambang Gethuk
Sepanjang masih ada Bung Karno dan B. Franklin semua kesulitan bisa diatasi. Yang penting izin tambangnya sudah di tangan. Lalu lokasi tambangnya benar-benar sekelas Sandra Dewi. Akan banyak investor yang berminat. Terlalu banyak. Rebutan. Asal jangan dipersoalkan siapa mereka.
Untuk mengundang investor perlu konsultan yang lain lagi: konsultan keuangan. Banyak yang mau jadi konsultan keuangan. Berebut.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tambang Bumi
Tapi investor hanya percaya pada konsultan keuangan yang terpercaya. Yang sudah punya nama besar. Kelasnya harus internasional. Jangan dipersoalkan apalah pemiliknya Yahudi atau Nasrani.
Warga NU pasti banyak yang mampu menjadi konsultan keuangan, tapi belum tentu punya yang sudah dipercaya investor besar.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Luka Jateng
Perencanaan bisnis yang dibuat konsultan itulah yang akan jadi "kitab suci" tambang NU.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News